OLEH: Auliana Aqillah*

Di balik deru kemajuan zaman dan dunia pendidikan yang semakin kompleks, ada satu sosok yang kerap luput dari sorotan.

Sosok yang hadir sejak hari pertama seorang anak mengenal huruf, mengeja kata, hingga perlahan menemukan makna hidupnya.

Dialah guru. Bukan guru besar, bukan profesor, bukan tokoh pendidikan nasional -melainkan guru biasa. Ia yang mengajar di ruang-ruang kelas yang bocor, menyapu papan tulis dengan tangan sendiri, pulang sore naik sepeda, dan tetap tersenyum meski gaji tak seberapa.

Guru biasa bukan berarti peranannya kecil. Justru di tangan mereka, benih-benih masa depan bangsa ditanam.

Di hadapan murid-murid yang beragam latar belakangnya, guru biasa menjalankan tugas suci: mendidik dengan hati.

Bukan semata mentransfer pengetahuan, tapi membentuk karakter, menanamkan nilai, dan menjadi teladan dalam laku. Mereka ingin kita menghindari pahitnya kebodohan dalam kehidupan dunia yang kejam ini.

Namun, terlalu sering kita menjadikan guru hanya sebagai bagian dari sistem, bukan jiwa dari pendidikan itu sendiri.

Mereka diminta menjalankan kurikulum yang terus berubah, dituntut mengikuti pelatihan, mengisi data digital yang melelahkan, tapi tak pernah sungguh-sungguh didengarkan suaranya.

Ironisnya, dalam banyak kebijakan pendidikan, guru seolah hanya pelaksana, bukan pemikir. Padahal, siapa yang paling tahu denyut kebutuhan anak didik kalau bukan mereka?

Satu hal yang sering kita lupa, guru bukan hanya profesi, tetapi panggilan jiwa. Ia bukan sekadar bekerja dari jam tujuh pagi sampai dua siang, melainkan menghadirkan diri sepenuhnya bagi anak-anak yang sedang tumbuh dan mencari jati diri.

Banyak guru yang diam-diam membawa pulang kertas-kertas tugas murid, memeriksa lembar demi lembar di malam hari, sementara anaknya sendiri belum sempat ia temani belajar.

Banyak guru yang tetap hadir di kelas meski sedang tidak enak badan, karena merasa absen sehari pun bisa membuat anak-anaknya kehilangan arah.

Sikap-sikap seperti itu tak bisa dibeli dengan pelatihan atau tunjangan. Itu muncul dari cinta. Dari keyakinan bahwa menjadi guru adalah ibadah panjang yang pahalanya tidak selalu bisa diukur dengan materi. Bahkan mungkin, tidak akan pernah ia terima di dunia.

Namun, kenyataan di lapangan sering tak berpihak pada mereka. Guru-guru honorer di pelosok negeri masih harus berjuang dengan penghasilan yang jauh dari kata layak. Ada yang mengajar pagi lalu sore bekerja serabutan demi mencukupi kebutuhan hidup. Ada pula yang puluhan tahun mengabdi, tapi tak kunjung diangkat jadi pegawai tetap.

Mereka adalah penjaga api pendidikan yang tetap menyala di tempat-tempat yang tak tersentuh sorotan media.

Di sisi lain, masyarakat pun sering tanpa sadar bersikap tidak adil. Guru yang sabar mendidik anak-anak kita kadang malah disalahkan saat anak tak naik kelas, padahal mendidik bukan proses sepihak. Ia adalah kerja sama.

Guru mendidik di sekolah, orang tua melanjutkan di rumah. Jika kita ingin anak-anak tumbuh dengan nilai dan budi pekerti, maka tanggung jawab itu tak bisa hanya diletakkan di pundak guru seorang diri.

Ada baiknya kita mulai menata ulang cara pandang terhadap guru. Tak hanya sebagai pengajar, tetapi sebagai penjaga peradaban. Mereka tidak hanya mengisi kepala anak-anak dengan informasi, tetapi membentuk hati dan wataknya. Guru bukan hanya bagian dari dunia pendidikan, tapi penentu arah masa depan bangsa.

Tugas kita adalah menjaga martabat mereka. Bukan hanya dengan memberikan fasilitas, tapi juga dengan memperlakukan mereka sebagai manusia merdeka: bebas bersuara, bebas mengembangkan metode, bebas berinovasi sesuai kebutuhan murid.

Jangan batasi mereka hanya dengan administrasi yang menumpuk atau target kelulusan yang kaku. Biarkan mereka mendidik dengan cara yang paling mereka pahami -karena tak ada satu pun sistem yang bisa menggantikan sentuhan pribadi seorang guru.

Sebab pada akhirnya, bangsa ini akan menjadi seperti apa, tergantung pada siapa yang mendidiknya. Dan selama masih ada guru-guru biasa yang setia menjaga lentera pengetahuan, kita patut yakin bahwa masa depan belum hilang arah.

Dalam tradisi pesantren, sosok guru atau kiai memiliki kedudukan yang mulia. Santri bukan hanya belajar dari apa yang diajarkan, tapi dari bagaimana sang kiai menjalani hidup. Ilmu dan akhlak berjalan seiring.

Maka di tengah hiruk-pikuk pendidikan modern yang sering kehilangan arah, barangkali sudah saatnya kita kembali menengok model relasi guru dan murid ala pesantren: relasi yang dilandasi kepercayaan, keteladanan, dan cinta ilmu.

Guru biasa yang mengajar di madrasah pelosok, di sekolah swasta kecil, atau bahkan di ruang kelas darurat pascabencana, sesungguhnya sedang menjalankan tugas luar biasa.

Mereka menyalakan lilin di tengah gelap, menghidupkan harapan pada anak-anak yang nyaris putus asa. Mungkin tak ada nama mereka dalam buku sejarah. Tapi dari ruang kelas sederhana itulah lahir pemimpin-pemimpin masa depan.

Maka, jika hari ini kita bicara tentang perbaikan pendidikan, mari mulai dari mereka. Dengarkan cerita guru-guru biasa. Beri ruang untuk suara mereka dalam menyusun kebijakan. Hargai mereka bukan sekadar dengan upah yang layak, tapi dengan pengakuan atas martabatnya sebagai pendidik.

Sebab pada akhirnya, kemajuan bangsa ini tidak hanya ditentukan oleh teknologi atau kebijakan hebat. Tapi oleh guru-guru biasa yang dengan cinta dan kesabarannya membentuk kita menjadi manusia-manusia luar biasa.

*Penulis adalah Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta