PALU – Koalisi Advokasi untuk Rekognisi Hak Masyarakat Hukum Adat (KARAMHA) terus berupaya mendorong dan mengawal Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Sulawesi Tengah (Sulteng),
yang kini resmi masuk dalam Program Pembentukan Peraturan Daerah (Propemperda) Provinsi Sulteng Tahun 2025 sebagai inisiatif DPRD.

KARAMHA Sulteng merupakan koalisi dari beberapa lembaga seperti HUMA Sulteng, WALHI Sulteng, BANTAYA, Yayasan Merah Putih (YMP), Badan registrasi wilayah adat (BRWA) Sulawesi Tengah, AMAN Sulawesi Tengah, Yayasan Peduli pendidikan & Lingkungan Sulawesi Tengah (YP2L), dan Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP) Sulteng.

Langkah tersebut merupakan hasil advokasi panjang KARAMHA dimulai sejak Desember 2021 melalui audiensi dengan Ketua DPRD Sulteng, Nilam Sari Lawira.

Advokasi dilanjutkan dengan dialog bersama pihak Pemprov Sulteng serta diskusi dengan organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait.

Pada 23 Mei 2025 lalu, Komisi IV DPRD Sulteng dipimpin oleh Hidayat Pakamundi, menggelar rapat finalisasi hasil kajian Ranperda PPMHA. Dalam rapat tersebut, Komisi IV menyatakan bahwa Ranperda PPMHA perlu ditindaklanjuti ke tahap penyusunan naskah akademik dan draf perda.

KARAMHA dalam pernyataan sikap resminya menyoroti pentingnya nomenklatur digunakan. Menurut mereka, istilah “Pengakuan dan Perlindungan Hukum Adat” terlalu sempit karena hanya mencakup sistem hukum adat dan mekanisme peradilan adat.

Padahal, menurut KARAMHA, pengakuan seharusnya juga mencakup keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum serta perlindungan terhadap wilayah adat mereka sebagai objek hukum.

“Penegasan istilah menjadi Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (PPMHA), memperluas ruang lingkupnya, termasuk pengakuan atas tanah ulayat dan hutan adat,” ujar Koordinator Presidium KARAMHA, Amran Tambaru, pada konferensi pers Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, di Kantor Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulteng, Jalan Tanjung Manimbaya, Kamis (5/6).

Pengakuan tersebut lanjut Direktur Yayasan Merah Putih, akan memberikan dasar hukum bagi masyarakat hukum adat untuk memperoleh hak atas wilayah adat melalui skema-skema telah diatur dalam peraturan nasional, seperti Permen ATR/BPN No. 14 Tahun 2024 tentang Tanah Ulayat dan Permen LHK No. 9 Tahun 2021 tentang Hutan Adat.

Amran menyoroti sejumlah pandangan keliru berkembang di masyarakat maupun lembaga publik. Salah satunya adalah anggapan bahwa masyarakat hukum adat bersifat statis dan tertinggal.

Padahal, kata Amran komunitas adat justru dinamis dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

“Indikator keberadaan masyarakat hukum adat tidak semata dilihat dari pakaian adat atau ritual tradisional. Pemahaman ini perlu diperbarui dengan mengacu pada Permendagri No. 52 Tahun 2014,” kata Amran.

Amran mengatakan, indikator dimaksud antara lain mencakup sejarah asal-usul, wilayah adat, kelembagaan adat, sistem hukum adat, serta harta kekayaan adat.

Dalam konteks peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Amran menekankan pentingnya kearifan lokal masyarakat hukum adat dalam menjaga keseimbangan alam. Amran mencontohkan sistem “ombo” atau jeda panen diterapkan masyarakat adat di Kulawi dan Lindu, terbukti mampu menjaga kelestarian hutan hujan tropis dan mendukung praktik perikanan berkelanjutan di Danau Lindu.

Amran menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi dan DPRD Sulteng atas komitmen mereka dalam mendorong regulasi berpihak pada masyarakat adat.

Menurutnya, terbitnya perda ini nantinya menjadi bentuk nyata penghormatan terhadap hak asasi manusia sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi.

“Saya sudah jelaskan bahwa Perda ini bukan untuk mengatur hukum adat karena sudah ada Pergub Nomor 42 Tahun 2013 tentang Peradilan Adat. Di situ sudah jelas tentang sistem hukum adat dan jenis-jenis sanksi,” tutup Amran.

Sekretaris KARAMHA, Joisman Tandaru mengatakan, di Sulawesi tengah terdapat 87 wilayah masyarakat hukum adat dengan luasan sekitar 950 ribu hektare.

“Dengan Perda itu, maka secara tidak langsung pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat tersebut, dan juga dengan harapan agar masyarakat adat tersebut memiliki kekuatan hukum sendiri dalam menjaga wilayahnya,” jelas Joisman, sekaligus kepala Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Sulawesi Tengah.

Lebih lanjut, perwakilan koalisi dari Bantaya, Sahrun menegaskan bahwa Perda PPMHA sangat penting bagi penghormatan kepada masyarakat hukum adat.

“Kami meminta kepada pemerintah untuk melakukan kajian-kajian ilmiah dan dari KARAMHA sulteng tentunya siap mendampingi diskusi terkait peraturan daerah (Perda) masyarakat hukum adat,” tegas Sahrun.

Direktur WALHI Sulteng Sunardi Katili menambahkan, sebenarnya ketika misalkan perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat disahkan oleh pemerintahan daerah .

“Saya kira dalam implementasi perda ini terlindungi juga Misalkan kearifan lokal masyarakat hukum adat mengelola kekayaan alam. Jadi dia mengelola sesuai dengan kebutuhannya.Tidak sampai misalkan merusak hutan, merusak air, merusak udara, Bahkan merusak habitat koloni,” katanya.

Sunardi menegaskan, ada kearifan lokal dimiliki oleh masyarakat hukum adat dalam pengelolaan sumber daya alam Nah ketika itu tidak dilindungi, tidak diakui, masuklah korporasi di wilayah masyarakat adat tersebut.

“Artinya ketika di sana ada kawasan wilayah-wilayah adat, kawasan wilayah-wilayah masyarakat adat, jauh sebelum korporasi besar, baik pertambangan maupun perkebunan, mereka sudah turun-temurun hidup. Lalu itu tidak terlindungi dan tidak dirakuni oleh negara. Dalam hal ini peraturan daerah, lebih spesifik, itu akan merancang kehidupan mereka secara ekonomi, secara ekologi,” katanya.

Reporter: IKRAM/Editor: NANANG