Di tengah rimbunnya angka-angka pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Palu, yang tahun ini menyentuh Rp1,8 triliun. Mengendap sebuah ironi fiskal yang tak seharusnya luput dari perhatian publik, pemerintah kota enggan menaruh uangnya sendiri di bank miliknya sendiri.

PT Bank Sulteng, satu-satunya Bank Pembangunan Daerah (BPD) di provinsi ini, masih harus gigit jari karena Kota Palu menolak menjadikannya sebagai tempat menyimpan Rekening Kas Umum Daerah (RKUD).

Padahal, di atas kertas, Palu tercatat sebagai pemegang saham sah, lengkap dengan hak menikmati dividen yang tahun lalu mencapai Rp5 miliar. Sebuah kenikmatan fiskal tanpa kontribusi berarti.

“Semua sudah menggunakan Bank Sulteng kecuali Kota Palu,” keluh Direktur Utama Bank Sulteng dalam sebuah forum yang mempertemukan elite fiskal dari pusat dan daerah, beberapa hari lalu di Kantor Gubernur Sulteng.

Pernyataan itu bukan sekadar keluhan, melainkan tamparan keras atas absennya loyalitas fiskal dalam rumah sendiri.

Lebih jauh dari sekadar preferensi administratif, keputusan menyimpan RKUD di bank lain adalah pilihan politik ekonomi.

Ia menyiratkan siapa yang dipilih untuk diperkuat, siapa yang dibiarkan ringkih. Maka wajar jika Komisi II DPR RI mengancam akan membekukan dana transfer daerah bagi pemerintah yang membangkang atas semangat kolektivitas BUMD.

Sikap Palu dalam perkara ini tak bisa tidak disebut oportunistik. Menikmati hasil dari saham, tapi enggan mendukung arus kas yang justru menjadi nadi utama pertumbuhan bank. Padahal, fungsi RKUD di bank daerah tak hanya sebagai saluran penyimpanan, tetapi juga sebagai sumber likuiditas yang dapat kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan usaha, kredit mikro, hingga dukungan fiskal untuk pembangunan lokal.

Mari jujur, apa makna kepemilikan saham bila tanpa niat menguatkan perusahaan? Dan lebih jauh, apa arti otonomi daerah jika pembangunan ekonomi lokal justru dititipkan pada lembaga keuangan yang bukan bagian dari ekosistem daerah sendiri?

Pemerintah Kota Palu tentu punya alasan. Mungkin soal efisiensi, kenyamanan sistem, atau pertimbangan teknis lainnya. Tapi dalam manajemen keuangan publik, loyalitas terhadap lembaga milik bersama semestinya menjadi fondasi. Apalagi dalam konteks desentralisasi fiskal yang menghendaki sinergi antarlembaga daerah, bukan persaingan senyap yang merugikan.

Kementerian Dalam Negeri dan Komisi II DPR RI sudah mengisyaratkan jalan keras, regulasi ketat, tekanan anggaran, dan bahkan ancaman sanksi fiskal. Namun, yang lebih penting dari sanksi adalah kesadaran bahwa BUMD bukan hanya instrumen, melainkan simbol dari kemandirian dan kedaulatan fiskal daerah.

Palu, dengan belanja pegawai hampir Rp800 miliar dan PAD yang masih bergantung pada dana transfer pusat dengan besaran Rp1,13 triliun. Seharusnya menjadikan Bank Sulteng sebagai mitra strategis dalam membangun ekonomi yang lebih mandiri.

Kota ini tak bisa terus bersandar pada pusat, sembari mengabaikan potensi lembaga keuangannya sendiri.

Menabung di rumah sendiri bukan hanya perkara loyalitas. Ia adalah bentuk keberpihakan. Dan dalam politik anggaran, keberpihakan itu harus terang, bukan sembunyi dalam angka-angka.

Penulis : Yamin (Korlip mediaalkhairaat.id)