Amar ma’ruf nahi munkar, menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Keduanya adalah dua hal yang saling bersinggungan, berkaitan dan tidak dapat dilepaskan.
Kemaksiatan, atau kerusakan akhlak bukan karena sedikit jumlah orang baik, bukan. Tahu kenapa? Karena mereka yang baik merasa cukup menyeru pada kebaikan dan berlepas diri dari mencegah kemungkaran.
Padahal, dua hal tersebut juga bagian dari tugas orang-orang beriman sebagaimana Allah firmankan; ”Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah.” (QS Ali ‘Imran: 110).
Apa artinya? Artinya, umat yang terbaik adalah umat yang memiliki kesanggupan untuk selalu menata, menjaga, merawat, dan mewaspadai kalbunya dengan baik, sehingga selalu bersih, lapang, dan selamat.
Kalbu yang selamat, tentu akan membuahkan kepekaan terhadap kebaikan dan berbuat yang terbaik. Kepekaan akan membuat dunia ini berubah menjadi samudera ilmu yang teramat luas karena cahaya ilmu yang telah dikaruniakan Allah.
Apa yang dilihat, dirasa, dan didengar dari aneka kejadian di bumi ini sudah seharusnya kita sikapi dengan penuh rasa syukur. Karena pada hakikatnya pada setiap kejadian itu pastilah Allah menebarkan ilmu hikmah yang akan membuat kita semakin arif dan bijak, juga semakin memiliki kesungguhan mendekat kepada-Nya.
Sekiranya kita sudah memiliki kepekaan, niscaya kita akan berjiwa besar. Dengan jiwa besar yang bersimbah keimanan dan makrifat yang baik kepada Allah ‘Azza wa Jalla inilah yang akan membuat kita dapat merasakan nikmat dan manisnya menyaksikan kebaikan tersebar.
Namun dalam kenyataan, tidak semua kita memiliki kepekaan seperti ini. Tidak jarang, ketika mendengar kumandang adzan di masjid, serta-merta kita merasa terganggu karena sedang asyik dengan pekerjaan atau aktivitas duniawi.
Ketika melihat sampah berserakan atau duri di jalanan, adakah hati kita terketuk untuk mengambil dan menyingkirkannya? Ataukah kita tidak menghiraukannya?
Ketika kita melihat seorang kakek sedang berjuang menyeberang jalan, terketukkah hati kita untuk membantu menyeberangkannya?
Sementara nahi mungkar bisa kita amalkan dengan cara mengajak umat Islam menjauhi hal-hal yang dapat mengundang kemurkaan Allah SWT.
Dalam hal nahi mungkar, Rasulullah juga telah memberikan panduan yang sangat jelas untuk umatnya.
“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia mengubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan itulah bentuk selemah-lemah iman.” (HR Muslim).
Amar makruf dan nahi mungkar bisa berjalan efektif manakala umat Islam sendiri memang memiliki identifikasi diri yang pasti dengan ajaran Islam secara keseluruhan (kafah). Karena, mustahil sapu yang kotor bisa digunakan untuk membersihkan lantai yang juga kotor.
Rasulullah memerintahkan umatnya untuk konsisten mengikuti sunahnya. Jika tidak, dia ibarat penjual obat yang hanya bisa menawarkan obat penyembuh, tapi tidak bisa mengobati penyakitnya sendiri.
Apabila keteladanan itu jauh dari umat Islam maka tidak saja kegagalan yang akan diperoleh, tetapi juga kemurkaan Allah SWT (QS [61]: 3).
Karena secara prinsip, amar makruf nahi mungkar, mensyaratkan keteladanan yang merupakan akar dari segala kemuliaan. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)