Hidup bagi seorang muslim, sejak ia akil baligh sampai malaikat maut menjemputnya, adalah ujian. Ujian yang tidak hanya sekedar untuk dilalui, tetapi juga akan dinilai oleh Allah Azza Wa Jalla.

Dengan ujian itu, secara nyata Allah akan mendapati siapa diantara hamba-hamba-Nya yang paling baik amalnya. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya (QS. Al-Mulk : 2)

Bahkan kehidupan sebelum baligh pun merupakan ujian. Seperti seseorang yang terlahir dalam keadaan tidak sempurna. Kondisi ini akan disikapi berbeda oleh masing-masing orang, dan karenanya penilaian Allah pun berbeda tergantung sikap hamba-Nya.

Ujian terhadap fisik ini termasuk kategori fi anfus dalam bahasa Al-Qur’an saat menjelaskan tentang ujian. “Kamu benar-benar akan diuji pada hartamu dan dirimu” (QS. Ali Imran : 186)

Ujian yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya yang muslim bisa berupa dua hal: ujian yang berbentuk musibah dan ujian kenikmatan.

Sering kali yang pertama disebut oleh manusia sebagai ujian yang buruk dan yang kedua disebut sebagai ujian yang baik. Namun, pada hakikatnya keduanya merupakan ujian dari Allah.

Keduanya memiliki potensi yang sama. Jika lulus menghadapinya akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.

Bagi orang yang beriman, sebenarnya ada rumus umum tentang ujian itu. Bahwa seorang yang lebih kokoh keimanannya akan mendapatkan ujian yang lebih berat. Dengan mudah kita bisa menganalogikan bahwa ujian murid SD lebih mudah daripada ujian murid SMP.

Sama halnya UAS BN bagi SMU lebih sulit daripada UAS BN bagi siswa SMP. Kaidah itu berlaku dalam ujian hidup bagi seorang mukmin; semakin besar keimanan, semakin berat ujiannya.

Rasulullah SAW pernah menjawab pertanyaan Saad bin Abi Waqash mengenai tingkatan ujian itu.

Aku (Sa’ad bin Abi Waqash) bertanya: “Ya Rasulullah! Siapakah yang paling berat Ujiannya?” Beliau menjawab, “Para Nabi, kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka akan …diuji sesuai kadar kekuatan agamanya.” (HR. Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah; Shahih menurut Al-Albani)

Maka kita melihat betapa sejarah telah menceritakan bahwa ujian-ujian yang paling berat dialami oleh para Nabi dan Rasul. Demikian pula ujian yang telah dihadapi oleh salafus shalih dan para ulama’.

Jika keimanan berbanding lurus dengan besarnya ujian, sesungguhnya besarnya pahala juga berbanding lurus dengan besarnya ujian. Semakin berat ujian seseorang semakin besar pula pahala yang diperolehnya manakala ia lulus dalam mengahadapinya. Dan ujian itu juga merupakan tanda cinta dari Allah buat hamba-hamba terkasih-Nya.

Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya besarnya pahala tergantung dengan besarnya ujian. sesungguhnya, apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Dia mengujinya. Siapa yang ridha dengan ujian itu, maka ia akan mendapatkan keridhaan-Nya. Siapa yang membenci ujian itu, maka ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah)

Jangan dikira bahwa ujian itu hanyalah musibah; sakit, kemiskinan, kesusahan, keterbatasan, penderitaan, kecelakaan, dan sejenisnya. Kekayaan, kesenangan, popularitas, jabatan, kepemimpinan, kekuasaan, dan sejenisnya juga merupakan ujian.

Bahkan ujian tipe kedua ini sering kali lebih berat. Dalam arti, tidak banyak yang bisa menghadapinya dengan sikap yang benar lalu keluar sebagai pemenang dalam pandangan Allah; lulus ujian.

Tampaknya demikianlah sejarah mengatakan kepada kita . Banyak orang yang ketika diuji dengan kemiskinan ia mampu menghadapinya dan justru kemiskinan itu semakin meningkatkan ibadahnya dan menambah kedekatannya kepada Allah. Namun, begitu kaya, ia lupa dengan ibadah-ibadah yang dulu dijalaninya. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)