Penulis: Moh. Syafei
SAYA telah membaca berita bertajuk: Emas Hijau di Pekarangan: Anwar Hafid Ingin Touna Jadi Kabupaten Sawit dari media online Infopena, Minggu 20 April 2025. Terus terang saya tidak gembira, apalagi Kabupaten Sawit dikaitkan dengan slogan “Berani Makmur”. Akal Sehat saya terganggu.
Pernyataan itu memang berani secara politis dan tampak menjanjikan, tetapi secara ekologis dan sosial, harus dikritik.
Pertama, kelapa sawit bukan pohon netral secara ekologis. Kelapa Sawit adalah tanaman industri yang tumbuh dalam sistem monokultur skala besar, yang tidak kompatibel dengan prinsip keberlanjutan ekologis tropis. Dalam konteks Tojo Unauna—sebuah wilayah dengan karakter bentang alam pesisir, pegunungan, dan hutan tropis—pengembangan sawit dalam skala luas berpotensi mengganggu sistem penyangga lingkungan seperti daerah aliran sungai, tutupan hutan primer, dan biodiversitas endemik.
Kedua, pengembangan sawit terbukti secara historis berdampak serius dalam tata kuasa lahan dan konflik agraria. Pengalaman dari banyak kabupaten di Indonesia menunjukkan, ekspansi sawit kerap mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan petani lokal. Dalam beberapa kasus, konflik tenurial meningkat, disusul dengan eksploitasi tenaga kerja, degradasi tanah, dan polusi air. Ini bukan sekadar risiko, tetapi fakta berulang yang dapat terjadi di Tojo Unauna jika tidak ada mitigasi dan pengawasan ketat.
Ketiga, di tengah perubahan iklim global, arah pembangunan seharusnya berpihak pada adaptasi dan mitigasi, bukan menambah beban ekosistem. Kelapa sawit bukanlah solusi bagi krisis iklim. Sebaliknya, pembukaan lahan untuk sawit justru merupakan salah satu penyumbang besar emisi karbon, terutama jika hutan dan lahan gambut dikonversi. Mengganti hutan dengan sawit bukanlah menambah ruang hijau, melainkan menghilangkan fungsi ekologis vital.
Keempat, Kabupaten Tojo Unauna memiliki potensi pembangunan alternatif yang lebih adaptif dan berkelanjutan. Potensi perikanan berkelanjutan, ekowisata bahari, kehutanan rakyat, pariwisata berkelanjutan, serta pertanian diversifikasi berbasis lokal adalah sumber-sumber ekonomi yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga inklusif secara sosial. Memaksakan sawit sebagai primadona tunggal justru menyederhanakan potensi kompleks daerah menjadi jalur tunggal yang rapuh terhadap krisis global.
Kelima, sebagai daerah otonom, Tojo Unauna berhak dan bertanggung jawab untuk menentukan arah pembangunannya sendiri. Otonomi bukan hanya tentang mengelola anggaran, tapi juga tentang kemampuan berpikir kritis, mengambil keputusan kontekstual, dan memilih strategi pembangunan yang adil, lestari, dan sesuai dengan karakter sosial-ekologis lokal. Otonomi yang cerdas tidak sekadar mengikuti tren provinsi atau pusat, tapi mampu menimbang risiko jangka panjang.
Dengan demikian, gagasan “Kabupaten Sawit” untuk Tojo Unauna perlu dievaluasi secara serius. Bukan karena menolak pembangunan, tetapi karena menghormati hak-hak generasi mendatang untuk mewarisi alam yang utuh, hidup yang layak, dan pembangunan yang tidak memiskinkan lingkungan.
Tojo Unauna tidak harus menjadi Kabupaten Sawit agar bisa menjadi kabupaten makmur. Touna cukup menjadi kabupaten yang berani merumuskan kemakmurannya sendiri—berbasis pada keadilan ekologis dan keberlanjutan sosial.
Sebelum ditutup. Tulisan ini saya buat di Kabupaten Buol, yang tengah menghadapi dilema serupa. Janji penanaman dua juta pohon sawit yang diumumkan sebagai strategi pembangunan ekonomi terdengar megah di permukaan, namun menyimpan potensi ancaman ekologis yang tidak kecil.
Hal yang mengawatirkan, sebelum program itu dimulai secara resmi, sudah terjadi pembantaian hutan tanpa izin di Desa Mopu-Binuang seluas lebih dari 1.000 hektar. Ini bukan hanya soal pelanggaran hukum, tapi sinyal bahwa pembukaan ruang bagi investasi sawit kerap mendahului perlindungan atas hutan dan masyarakatnya.
Dalam suasana eforia yang menjanjikan kemakmuran dari sawit, telah terjadi transaksi gelap jual beli tanah antara pihak-pihak yang tidak memiliki hak hukum yang sah, dengan pembeli-pembeli bertopeng korporasi. Proses ini menandai gejala klasik tata kuasa lahan yang timpang: tanah rakyat dikomodifikasi, hutan dijadikan aset, dan ekologi ditempatkan sebagai variabel yang bisa dinegosiasi.
Kondisi zaman ini telah membuat kita lupa bahwa Buol adalah wilayah yang rentan bencana, dengan ekosistem karst dan dataran rendah yang rawan banjir. Menggunduli hutan untuk sawit sama dengan memperbesar risiko bencana di masa depan. Di tengah ancaman pemanasan global dan cuaca ekstrem, langkah membuka lahan skala besar tanpa mitigasi sama saja dengan membuang oksigen dan mendatangkan bencana.
Pemerintah seharusnya bertanya ulang: benarkah sawit adalah jawaban atas kemiskinan rakyat? Atau justru jalan pintas yang menyamarkan ketidakmampuan merancang ekonomi alternatif yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan?
Masa depan Buol, Tojo Unauna, dan Sulawesi Tengah secara umum tidak harus diserahkan pada logika investasi ekstraktif. Mestinya bisa dirancang melalui reforma agraria sejati, dukungan pada usaha tani rakyat, perhutanan sosial, dan diversifikasi ekonomi lokal. Tidak harus menebang hutan untuk hidup—KITA: Buol, Tojo Unauna dan seluruh daerah di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah hanya perlu memulihkan kepercayaannya pada kekuatan rakyat dan warisan alamnya.