BUOL – Sidang pembacaan eksepsi atas dakwaan terhadap petani M. Yunus digelar di Pengadilan Negeri Buol, Rabu (16/4). Dalam sidang tersebut, tim penasihat hukum M. Yunus menyatakan keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan menilai perkara ini merupakan bentuk kriminalisasi terhadap petani yang memperjuangkan hak atas lahan kemitraan sawit.

“Terdakwa M. Yunus merupakan petani plasma yang telah lama memperjuangkan keadilan atas hak lahan dan hasil kebun yang tidak pernah diberikan oleh perusahaan,” ujar Budianto E.D Tamin, SH, penasihat hukum terdakwa dalam sidang.

Menurut Budianto, dakwaan yang diajukan JPU tidak memperhatikan konteks perjuangan petani Buol yang sebelumnya telah diputuskan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) RI. “Kami berpandangan bahwa perkara ini merupakan ranah perselisihan hak, bukan pidana. Putusan KPPU dan PN Niaga Jakarta Pusat juga telah menyatakan bahwa PT. Hardaya Inti Plantations melanggar prinsip kemitraan,” kata dia.

JPU mendakwa M. Yunus melanggar Undang-Undang Perkebunan dan KUHP atas dugaan pendudukan kebun serta penghasutan. Dakwaan itu berasal dari laporan Ketua Koperasi Tani Plasma Awal Baru, Suleman Batalipu, yang bekerja sama dengan pihak PT. HIP.

Perkara ini menjadi sorotan karena dampaknya terhadap keluarga terdakwa. Istri M. Yunus yang juga seorang aktivis tani, meninggal dunia pada Januari 2025 setelah mengalami gangguan kesehatan yang disebut-sebut dipicu oleh tekanan psikologis. Ia sempat menjalani operasi sesar dan menyampaikan bahwa dirinya mengalami stres berat akibat penangkapan suaminya.

“Saya tidak bisa mendampingi istri saya saat dia meninggal. Anak-anak kami kehilangan ibunya karena kriminalisasi ini,” ujar M. Yunus kepada awak media seusai persidangan.

Forum Petani Plasma Buol juga menyampaikan keprihatinan terhadap proses hukum yang sedang berjalan. Ketua Forum, Seniwati, menilai bahwa penanganan perkara M. Yunus tidak adil dan terkesan berpihak pada perusahaan.

“Pihak kepolisian cenderung cepat merespons laporan dari perusahaan, sementara laporan-laporan dari petani tidak ditindaklanjuti hingga lebih dari satu tahun,” kata Seniwati.

Ia juga menilai proses hukum yang dihadapi petani plasma sering kali dilakukan secara tidak presisi dan mempersulit petani. “Jarak tempuh ke Palu sangat jauh dan mahal. Proses hukum ini terasa seperti permainan yang mengabaikan hak petani kecil,” tambahnya.

Tim kuasa hukum juga mengajukan keberatan atas struktur dakwaan yang dinilai tidak jelas. Mereka menilai dakwaan bersifat obscuur libel karena tidak mencantumkan sejumlah fakta yang sudah tertuang dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Selain itu, terdakwa disebut memiliki Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) sebagai bukti atas lahan yang dipersoalkan.

“Kami berharap majelis hakim mempertimbangkan eksepsi yang kami ajukan. Ribuan petani plasma lain juga sedang memperjuangkan hak-haknya, dan kami berharap hukum bisa berpihak kepada keadilan,” tutur Budianto.

Sidang lanjutan dijadwalkan akan digelar dalam waktu dekat, sambil menunggu tanggapan JPU atas eksepsi tersebut.

Rep: Ikram/***

.