PALU– Di tengah geliat pembangunan daerah semakin inklusif, perlindungan terhadap kelompok rentan—terutama perempuan dan anak—menjadi kebutuhan mendesak tidak bisa diabaikan.
Menyadari hal tersebut, Kantor Wilayah Kementerian Hukum Sulawesi Tengah (Kanwil Kemenkum Sulteng) mengambil langkah konkret dengan memfasilitasi harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Peraturan Pelaksana Perda Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan milik Pemerintah Kabupaten Morowali.
Harmonisasi tersebut bukan sekadar proses teknokratis. Ia adalah upaya menjahit kembali tenun keadilan sosial bagi mereka kerap berada di tepi sistem—perempuan dan anak menjadi korban kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual. Bertempat di Aula Kebangsaan Kanwil Kemenkum Sulteng, Rabu (16/04), diskusi berlangsung penuh kesungguhan. Di meja yang sama, hadir Kepala Kanwil Kemenkum Sulteng, Rakhmat Renaldy, bersama Sekda Morowali Drs. Yusman Mahbub dan jajaran hukum masing-masing lembaga.
“Peraturan ini bukan hanya soal hukum di atas kertas, tetapi tentang bagaimana negara hadir secara nyata di rumah-rumah, sekolah, dan ruang publik, di mana perempuan dan anak seharusnya merasa aman,” ujar Rakhmat
Menurutnya, harmonisasi tersebut memastikan bahwa setiap pasal dalam rancangan peraturan daerah tidak hanya memenuhi standar teknis perundang-undangan, tetapi juga memiliki daya lindung kuat, tidak multitafsir, dan mampu diterapkan di lapangan dengan efektif.
Dalam pembahasan, tim dari Divisi Peraturan Perundang-undangan dan Pembinaan Hukum (P3H) Kanwil Kemenkum Sulteng melakukan telaah menyeluruh. Mulai dari norma-norma hukum nasional relevan, keterkaitan dengan UU Perlindungan Anak dan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hingga aspek-aspek lokal perlu menjadi pertimbangan agar peraturan benar-benar kontekstual dengan realitas Kabupaten Morowali.
Bagi Pemerintah Kabupaten Morowali, penyusunan regulasi ini merupakan bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional. Sekda Yusman Mahbub menegaskan bahwa perlindungan terhadap perempuan dan anak adalah bagian dari pembangunan sumber daya manusia berkelanjutan. “Kekerasan terhadap mereka tidak boleh lagi menjadi cerita diabaikan. Harus ada kepastian hukum dan sistem perlindungan menyeluruh,” ujarnya.
Lebih dari itu, harmonisasi tersebut diharapkan menjadi momentum membangun kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Ketika korban tahu bahwa ada aturan berpihak padanya, mereka lebih berani berbicara. Dan ketika pelaku tahu bahwa ada hukum tegas, maka berpikir dua kali untuk melakukan kekerasan.
Seiring dengan upaya harmonisasi tersebut, Kanwil Kemenkum Sulteng juga mendorong lahirnya regulasi turunan dan langkah-langkah penguatan seperti pendirian pusat layanan terpadu, pelatihan petugas pendamping korban, serta penyediaan anggaran memadai untuk implementasi kebijakan.
Rakhmat Renaldy menutup pertemuan dengan harapan besar, “Semoga ini bukan hanya menjadi regulasi indah di atas kertas, tetapi juga menjadi pelindung nyata—menjangkau setiap perempuan dan anak, bahkan di pelosok desa sekalipun,”ujarnya.
REPORTER :**/IKRAM