PALU – Jajaran Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Palu mengecam pernyataan ulama asal Yogyakarta, Gus Fuad Plered, yang dinilai menghina pendiri Alkhairaat, Habib Idrus bin Salim Aljufri (Guru tua).

Ketua DPC PKB Kota Palu, H. Nanang, menyatakan bahwa pernyataan tersebut sangat tidak mencerminkan sosok berilmu, serta melukai hati Abnaul Khairaat yang tersebar di seluruh Indonesia.

“Jasa Guru Tua bagi kemajuan pendidikan di Sulawesi Tengah sangat besar. Masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya Muslim, sangat mencintainya. Ketika hinaan itu datang, tentunya hati akan terluka. Gus Fuad harus ditangkap karena telah membuat kegaduhan di tengah masyarakat,” tegas H. Nanang, di palu, Kamis (27/03).

Menurut H. Nanang, jika Gus Fuad menolak status kepahlawanan Guru Tua, seharusnya ia menyampaikan pandangannya melalui kajian akademis atau diskusi yang rasional dan santun, bukan dengan pelecehan.

Anggota DPRD Kota Palu tiga periode itu menjelaskan bahwa rencana pengusulan Guru Tua sebagai Pahlawan Nasional telah mendapat dukungan dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, bahkan telah dideklarasikan.

“Organisasi-organisasi ini menilai bahwa pendiri perguruan Islam Alkhairaat yang berpusat di Kota Palu layak menjadi Pahlawan Nasional,” ujarnya.

Kata H. Nananag, sekitar Juni 2019 lalu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketua KH Ma’ruf Amin juga telah mendorong penetapan Habib Idrus bin Salim Aljufri sebagai Pahlawan Nasional. Pada tahun 2024, Pemerintah Indonesia secara resmi mengakui Habib Idrus bin Salim Aljufri sebagai Warga Negara Indonesia.

Politisi yang juga menjabat sebagai Ketua Alumni Alkhairaat Tondo itu menegaskan bahwa SIS Aljufri adalah sosok ulama yang sangat dihormati, tidak hanya di Sulawesi Tengah tetapi juga di seluruh Indonesia. Jasanya dalam bidang pendidikan dan dakwah Islam tidak diragukan lagi.

Lembaga pendidikan Alkhairaat yang didirikannya menjadi warisan cemerlang yang terus berkembang melalui para muridnya hingga kini.

H. Nanang menuturkan, sejarah mencatat bahwa perjuangan Guru Tua dimulai saat ia pertama kali datang ke Indonesia untuk mengunjungi kerabatnya. Keluarganya tersebar di Pulau Jawa dan Sulawesi. Pada kunjungan pertamanya, Guru Tua masih berusia 19 tahun dan belum memutuskan untuk bermukim.

Pada kunjungan keduanya, Guru Tua akhirnya menetap di Pulau Jawa (1922-1929). Perjalanannya di Nusantara dimulai dari Batavia (kini Jakarta), lalu berpindah ke Jombang, Jawa Timur, pada 1926. Di sana, ia bertemu dengan ulama kharismatik dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH. Hasyim Asy’ari.

Pada akhir 1928, Guru Tua melanjutkan perjalanannya ke Solo dan menjadi guru serta Direktur Madrasah al-Rabitah al-Alawiyah Cabang Solo. Tahun 1929, ia mulai berinteraksi dengan Sulawesi Tengah. Setahun kemudian, pada 14 Muharram 1349 Hijriyah atau bertepatan dengan 11 Juni 1930, Guru Tua mendirikan Madrasah Alkhairaat.

Saat pendudukan Jepang di Nusantara (1942-1945), termasuk di Palu, Alkhairaat sempat dilarang beraktivitas oleh penjajah. Meskipun sekolah secara formal tidak dibuka, semangat Guru Tua tetap menyala. Metode pembelajaran diubah dari rumah ke rumah, bahkan sampai hijrah ke Kampung Pewunu di Sigi.

Di sana, Guru Tua bertemu dengan saudara iparnya, Yoto Daeng Pawindu, kakak dari Intje Ami (Ite), yang merupakan istri Guru Tua. Yoto, seorang patriot tulen dan tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), memfasilitasi Guru Tua untuk mendirikan sekolah darurat di rumahnya. Meski di bawah ancaman Jepang, pendidikan tetap berjalan dan terus berkembang hingga kini.

“Dari sejarah perjalanan Guru tua ini, sangat layak dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Melalui Alkhairaat, Guru tua berhasil mencerdakan kehidupan bangsa, hingga saat ini beberapa alumni-alumni Alkhairaat mengambil peran pending di bidang pendidikan nasinal. Bahkan ada beberapa menjadi pimpinan daerah,” tandasnya.*/Yamin