PALU—“Pakai-pakai dulu”, kalimat sering diucapkan oleh pengawas di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Sulawesi Tengah. Konteks tersebut menjadi tidak lucu jika membawanya ke ranah keselamatan kerja. Nyawa para buruh di kawasan IMIP bukanlah seperti aset atau investasi bisa ditimbang bobot biaya-dan-keuntungan (costs and benefits) demi menjaga produktivitas perusahaan serta menekan biaya operasional.

Federasi Pertambangan dan Energi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (FPE KSBSI) melakukan survei terkait keselamatan kerja di kawasan IMIP dilakukan sejak Mei sampai Juli 2024. Survei merupakan salah satu upaya untuk menggali masalah utama di kawasan IMIP yang bisa mengakibatkan tingginya angka kecelakaan kerja, sepanjang sejarah berdirinya kawasan tersebut.

Survei tersebut bertujuan memberikan kritik dan masukan terkait buruknya kondisi kerja di IMIP. Harapannya kedepan adanya perbaikan kondisi kerja sehingga tidak terulang kembali kejadian mengenaskan terhadap pekerja.

Menurut, catatan Sembada Bersama Indonesia sejak 2019 sampai 2025 telah terjadi 104 kecelakaan kerja di semua smelter nikel Indonesia, mengakibatkan meninggal dunia sejumlah 107 orang dan
luka-luka 155 orang. Paling terbaru kejadian pada februari 2024 di departemen ferronickel PT Ocean Sky Metal Industry-seorang pekerja meninggal dunia.

Sementara data Rasamala Hijau Indonesia mencatat kecelakaan kerja smelter dan pertambangan sebanyak 38 insiden dengan total korban 120 dan 32 orang diantaranya meninggal dunia sepanjang tahun 2024.

Presiden FPE KSBSI Riswan Lubis mengatakan, hasil survei menemukan empat faktor penting penyebab tingginya kecelakaan kerja, di Kawasan IMIP, yaitu: faktor manusia termasuk kelalaian pekerja, faktor lingkungan kerja (environmental), faktor APD kurang memadai, dan faktor kerusakan alat.

“Ke empat faktor tersebut menunjukkan bahwa ada permasalahan besar terkait implementasi dari sistem K3 sudah mereka miliki di Kawasan IMIP. Lemahnya implementasi budaya keamanan dan K3 ini disebabkan oleh adanya pembiaran dilakukan oleh pengawas,” kata Riswan dalam dialog sosial Industri Nikel “Menuju Zero Accident di Sulawesi Tengah di Selenggarakan oleh organisasi buruh dan NGO di Swisbell Hotel, Rabu (26/2).

Selain itu, kata dia, pihaknya menemukan bahwa hubungan kerja tidak harmonis antara pekerja TKA dan pekerja lokal memperparah buruknya implementasi sistem K3.

Dari keempat faktor dan dua permasalahan implementasi K3 tersebut, pihaknya mendapati alasan-alasan lain dapat menambah potensi angka kecelakaan kerja di Kawasan IMIP, yaitu akumulasi kelelahan pekerja yang didapatkan dari tingginya waktu kerja dimana rata-rata pekerja bekerja 56 jam dalam sepekan atau 225 jam dalam sebulan.

“Hal ini harus menjadi perhatian bagi pemerintah karena tingginya jam kerja terus menerus dilakukan oleh pekerja di Kawasan IMIP tentu menghasilkan kondisi fisik lebih lemah dan meningkatkan paparan terhadap penyakit-penyakit lainnya,” tuturnya.

Riswan mengatakan, penelitian tersebut juga melihat fakta, bahwa bagaimana pekerja perempuan memiliki tantangan tersendiri yang spesifik dengan gender akibat dari dominasi jumlah laki-laki yang ada di kawasan IMIP.

Lebih lanjut kata Riswan, masalah minimnya sanitasi dan permasalahan higienitas di dalam kawasan IMIP juga mempengaruhi ketakutan pekerja perempuan di luar isu relasi kerja. Jam kerja tinggi juga dihadapi oleh pekerja perempuan, dimana mereka harus bekerja rata-rata 52 jam dalam sepekan.

“Ini menjadikan beban ganda dihadapi oleh pekerja perempuan lebih berat jika disandingkan dengan peran domestik mereka dan berakibat akumulasi lelah semakin tinggi.,”ujarnya.

Rasamala Hijau Catur Widi mengatakan, dalam kecelakaan kerja, buruh adalah korban. Sehingga dalam setiap upaya perbaikan pada sistem kecelakaan dan kesehatan kerja harus berbasis pada upaya melindungi buruh dalam bekerja.

Selama ini kata dia, buruh seringkali jadi pihak paling lemah ketika kecelakaan kerja atau setelah kecelakaan kerja, seperti dianggap paling bertanggung jawab ataupun tidak lagi mendapatkan kepastian kerja akibat kecelakaan kerja.

“Buruh sehat saja sering jadi korban PHK, apalagi yang kena dampak kecelakaan kerja,” katanya.

Sembada Bersama Indonesia Alfian mengatakan, temuan-temuan dari survei dilakukan FPE KSBSI makin mengonfirmasi bahwa IMIP secara khusus, serta smelter-smelter nikel lain di Indonesia secara umum, hanya mementingkan produksi nikel daripada nyawa buruh.

“Karena itu kita bisa mengatakan bahwa kebijakan hilirisasi nikel dibanggakan oleh pemerintah, dalam praktiknya ditopang oleh jam kerja panjang, kecelakaan kerja yang mematikan dan berulang, upah rendah, dan lebih buruknya, adalah bahaya penyakit akibat kerja serius seperti kanker paru-paru, paru-paru hitam, mesothelioma,” katanya.

Pada 2024 TuK INDONESIA melakukan penelitian terkait dampak dari pencemaran lingkungan terhadap pekerja dan warga sekitar kawasan IMIP. Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA Abdul Haris mengatakan, komponen lingkungan pada air, udara dan tutupan lahan di sekitar kawasan IMIP ditemukan cemaran yang melebihi ambang batas. Khususnya, cemaran terhadap udara dapat menimbulkan risiko kesehatan serius.

Temuan tersebut dibuktikan dengan laporan puskesmas Bahodopi 2023, bahwa kasus ISPA mengalami lonjakan dari tahun sebelumnya sebesar 55.527 kasus, angka tersebut empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Abdul Haris lebih jauh menekankan dampak lebih serius dirasakan oleh pekerja setelah 10 tahun masyarakat/pekerja berpotensi mengalami gangguan fungsi tubuh dan lebih parah bisa berisiko terkena kanker karena polutan ini bersifat karsinogenik.

Reporter : **/ IKRAM