POSO – Pengajar Hukum Tata Negara (HTN), Hukum Partai Politik, dan Sistem Pemilu, Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) Evaluasi Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Poso, Rabu (19/02).
Sahran Raden mengawali materinya dengan menyampaikan beberapa hal, antara lain tantangan dan upaya KPU dalam pemenuhan hak konstotusional warga (memilih dan dipilih).
Kata dia, upaya yang dimaksud adalah membangun ketaatan hukum dengan menciptakan EMB profesional dan mandiri, serta keamanan dan kekerasan pemilihan
“Tantangan dan upaya yang kedua adalah yang menyangkut partisipasi pemilih dan pemenuhan hak politik warga negara,” katanya.
Selanjutnya, komisioner KPU Provinsi Sulawesi Tengah periode 2013-2023 ini mengemukakan beberapa evaluasi permasalahan di tahap pemilihan, antara lain daftar pemilih.
Kata dia, permasalahan yang biasa muncul adalah banyak pemilih yang kehilangan hak pilih mereka karena tidak memiliki KTP Elektronik atau surat keterangan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil).
Selain itu, kata dia, terdapat ketidaktepatan dalam daftar pemilih, di mana ada pemilih yang memenuhi syarat tetapi tidak tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).
“Sementara ada pula pemilih ganda atau pemilih yang tidak memiliki dokumen kependudukan. Masalah lainnya adalah adanya pemilih yang terdaftar tetapi tidak menerima pemberitahuan memilih melalui Formulir Model C6,” ungkapnya.
Permasalahan kampanye juga menjadi pembahasan dalam FGDini. Beberapa di antaranya adalah penayangan iklan kampanye di media cetak dan elektronik yang dilakukan di luar fasilitasi KPU, penggunaan akun media sosial yang tidak terdaftar di KPU untuk berkampanye, serta pemberitaan dan penyiaran kampanye yang tidak berimbang.
“Selain itu, praktik politik uang juga menjadi salah satu kendala besar yang perlu segera ditangani,” tegasnya.
Selanjutnya, kata dia, proses pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) juga menghadapi berbagai kendala. Beberapa TPS dinilai tidak aksesibel bagi pemilih berkebutuhan khusus, sementara penyalahgunaan Formulir Model C6 juga ditemukan di beberapa tempat.
“Selain itu, perbedaan jumlah pemilih yang hadir dengan surat suara yang digunakan menjadi masalah yang perlu mendapatkan perhatian lebih lanjut,” katanya.
Tak hanya itu, kesalahan pencatatan dalam formulir pemungutan dan penghitungan suara juga menjadi tantangan yang dihadapi dalam proses ini.
“Pemetaan TPS di daerah rawan bencana belum berjalan optimal, sementara pelayanan pemilih di TPS khusus seperti rumah sakit dan lembaga pemasyarakatan masih belum maksimal,” katanya.
Di sisi kelembagaan, Sahran juga mengungkap adanya persoalan sumber daya manusia (SDM) dalam penyelenggaraan Pilkada. Sejauh ini, kata dia, masih ditemukan rendahnya pengetahuan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) terkait teknis pemungutan dan penghitungan suara.
“Koordinasi antar-jenjang penyelenggara pemilu juga masih lemah, sementara monitoring dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) kurang optimal,” ujarnya.
Selain itu, badan adhoc yang bertugas dalam pelaksanaan pemilu juga menghadapi kendala dalam proses rekrutmen. Jumlah pendaftar yang tersedia untuk posisi penyelenggara badan adhoc masih kurang, sementara persyaratan pendidikan di daerah terpencil sulit dipenuhi.
“Masalah lainnya adalah persyaratan pemeriksaan kesehatan yang membutuhkan standar khusus, serta keterbatasan rekrutmen sekretaris PPK yang harus berasal dari unsur Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dinilai menyulitkan pelaksanaan tahapan pemilu,” katanya.
Ia berharap adanya evaluasi menyeluruh terhadap berbagai aspek Pilkada 2024 agar pemilu mendatang dapat berjalan lebih baik.
Ia juga menyarankan agar penyelenggara pemilu memperbaiki sistem pendaftaran pemilih, meningkatkan profesionalisme badan adhoc, serta mengoptimalkan mekanisme pemantauan dan penegakan hukum terkait pelanggaran kampanye serta praktik politik uang. RIFAY