OLEH : Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH, MH*

Artikel ini bukanlah dalam rangka memvonis secara subyektif terhadap para pihak yang sedang bersengketa dalam perselisihan hasil pemilihan 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).

Artikel ini saya tulis di mana proses sengketa perselisihan hasil pemilihan di MK sedang berlangsung, namun saya menuangkan pikiran ini secara mandiri dan independent sebagai seorang akademisi di bidang hukum tata negara dan hukum pemilu.

Artikel pendek ini ingin memberikan penafsiran makna terhadap ketentuan pasal 71 Undang Undang 10 Tahun 2016 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota.

Terhadap peristiwa hukum dalam penggantian pejabat atau pelantikan pejabat di lingkungan pemerinta daerah menjelang pemilihan kepala daerah oleh Gubernur, Bupati dan Walikota. Kasus tersebut sering terjadi menjelang pilkada, sehingga menjadi sengketa akhir di Mahkamah Konstitusi.

Peristiwa hukum, Akibat Hukum dan Tindakan Pemerintahan

Sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan pasal 71 Undang Undang 10 Tahun 2016 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, bahwa Gubernur atau wakil Gubenur, bupati atau wakil bupati dan walikota atau wakil walikota dilarang melakukan penggantian pejabat.

Padahal ketentuan hukum berkaitan dengan larangan penggantian pejabat telah diatur dalam Undang-Undang 10 Tahun 2016.

Bahkan menjelang pilkada, para kepala daerah diingatkan kembali oleh Menteri Dalam Negeri agar tidak melakukan pengganatian pejabat 6 (enam) bulan sebelum penetapan pasangan calon dan 6 (enam) bulan setelah pelantikan Gubenur dan wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta walikota dan wakil walikota.

Namun ada saja para kepala daerah yang melakukan pelantikan dan kurang mengetahui regulasi yang mengatur terhadap larangan penggantian pejabat.

Menteri Dalam Negeri, dalam kebijakannya memberikan penjelasan melalui Surat Edaran kepada seluruh kepala daerah untuk tidak melakukan penggantian pejabat dilingkungan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten serta kota.

Larangan tersebut ditujukan kepada Gubernur atau wakil Gubernur, Bupati atau wakil Bupati dan walikota atau wakil walikota pada daerah yang menyelenggarakan pilkada baik yang mencalonkan dalam pilkada maupun tidak.

Penggantian pejabat sebagaimana dimaksud pada pasal 71 ayat (2) Undang Undang 10 Tahun 2016 terdiri dari;

a. Pejabat struktural meliputi pejabat pimpinan tinggi madya, pejabat pimpinan tinggi pratama, pejabat administrator dan pejabat pengawas.

    b. Pejabat fungsional yang diberi tugas tambahan memimpin satuan/uint kerja meliputi kepala sekolah dan kepala puskesmas.

    Penggantian pejabat struktural dan pejabat fungsional sebagaiamana huruf a dan b diatas, dilaksnaakan dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. hanya untuk mengisi kekosongan jabatan dengan sangat selektif serta tidak melakukan mutasi atau rotasi dalam jabatan.
    2. Proses pengisian pejabat pimpinan tinggi dilaksanakan melalui seleksi terbuka.

    Peristiwa hukum terhadap penggantian pejabat atau pelantikan pejabat merupakan kejadian yang menimbulkan akibat hukum, atau kejadian yang diatur oleh hukum.

    Dalam konteks hukum bahwa suatu peristiwa hukum dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu: pertama, peristiwa hukum yang terjadi karena perbuatan subjek hukum dan kedua, Peristiwa hukum yang tidak terjadi karena perbuatan subjek hukum.

    Dalam konteks penggantian pejabat oleh gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati dan wali kota atau wakil wali kota, apabila telah dilakukan perbuatan secara nyata, maka subyek hukum telah melakukan suatu peristiwa hukum.

    Kepala daerah atau administrasi negara merupakan subyek hukum sebagai drage van de rechten en plicthen atau pendukung hak hak atau kewajiban kewajiban.

    Sebagai subyek hukum pemerintah atau kepala daerah melakukan berbagai tindakan baik tindakan nyata maupun tindakan hukum.

    Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum oleh karenanya tidak menimbulkan akibat hukum.

    Sedangkan tindakan hukum adalah tindakan yang menurut sifatnya dapat menimbukan akibat hukum tertentu dan menciptakan hak dan kewajiban. Selajutnya dalam hukum administrasi negara dikenal dengan istilah tindakan hukum administrasi.

    Dengan demikian, terhadap tindakan hukum berupa penggantian pejabat atau pelantikan pejabat yang dilakukan oleh gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati dan wali kota atau wali kota baru bisa disebut telah menimbulkan akibat hukum apabila telah melahirkan hak dan kewajiban terhadap pejabat yang dilantik.

    Misalnya telah memenuhi hak nya berupa hak keuangan yang melekat dan menerimanya serta hak hak lain serta kewajiban untuk melaksanakan tugas, fungsi, kewenangan dan tanggungjawabnya.

    Pemaknaan Sanksi Pembatalan

    Ketentuan Pasal 71 Undang Undang 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubenur, Bupati dan Walikota ayat (2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.

    Selajutnya ayat (3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

    Sedangkan ayat (5) menyatakan bahwa Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

    Berdasarkan ketentuan norma pasal 71 ayat (2) diatas, bahwa suatu peristiwa pelanggaran terhadap subyek hukum tidak lah bersifat kumulatif, namun bersifat alternatif sebab menggunakan frasa kata atau. yakni Gubernur atau wakil Gubernur, Bupati atau wakil Bupati, walikota atau wakil walikota.

    Secara normatif ini, apabila dikorelasikan dengan fakta peritiwa hukum atas tindakan hukum melakukan penggantian pejabat atau pelantikan maka hanya dikenakan pada salah satu pejabat administrasi negara yaitu Gubernur atau wakil Gubernur, bupati atau wakil bupati serta walikota atau wakil walikota.

    Apabila hanya dilakukan oleh salah satunya, maka tidak memenuhi unsur subyek hukum melakukan tindakan hukum pelanggaran terhadap pelantikan pejabat dilingkup pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten dan kota.

    Apabila didalilkan menjadi suatu sengketa di Mahkamah Konstitusi, maka pemohon perlu membuktikan terhadap perbuatan hukum dari pejabat administrasi negara, apabila didalilkan oleh pemohon namun pejabat administrasi negara tidak terbukti melakukan tindakan hukum yang berakibat hukum maka dapat dikatakan dalil yang error in personal bahwa permohonan pemohon sebagai kekeliruan atas orang yang diajukan dalam materi permohonan sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon, atau error in subjeto atau kesalahan dalam permohonan merupakan salah sasaran pihak yang dijadikan subyek hukum sebab pejabat administrasi negara yang membuat produk hukum bukanlah pihak yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara.

    Pada pemberian sanksi terhadap pembatalan pada ayat (5) pasal 71, Undang Undang 10 Tahun 2016, ketentuan tersebut haruslah dimaknai bersifat komulatif terhadap petahana calon gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati serta wali kota atau wakil wali kota.

    Kumulatif dimaknai bahwa suatu peristiwa pelanggaran administrasi harus terpenuhinya akibat hukum pada penggantian pejabat dan penggunaan wewenang dalam melaksanakan program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain.

    Ayat (5) pada ketentuan pasal 71, menyatakan bahwa dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

    Sanksi terhadap pasangan calon kepala daerah berisfat kumulatif dalam makna haruslah terpenuhi terhadap perbuatan tindakan pemerintahan melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan dan juga sekaligus melakukan tindakan hukum menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

    Dengan demikian, perlu dibuktikan terhadap perbuatan hukum atau tindakan administrasi negara terhadap peristiwa penggantian pejabat dan melakukan tindakan pemerintahan berupa penyalagunaan kewenangan, program dan kegiatan yang menguntungkan bagi pasangan calon petahana.

    Perbuatan atau persitiwa hukum atas tindakan petahana calon Gubenur atau wakil Gubenur, Bupati atau wakil Bupati serta walikota atau wakil walikota secara nyata meruakan tindakan pemerintahan yang berifat terstruktur, sistematis dan massif dan telah berakibat hukum secara nyata.

    Jenis Pelanggaran dan Kewenangan Menyelesaikan

    Ketentuan larangan penggantian pejabat dan penggunaan kewenangan pemerintahan oleh petahana calon Gubenur atau wakil Gubenur, Bupati atau wakil Bupati serta walikota atau wakil walikota merupakan kategori pelanggaran administrasi pemilihan.

    Sebagaimana kerangka keadilan pemilihan yang diatur dalam Undang Undang 10 Tahun 2016 bahwa penegakan hukum atas pelanggaran adminsitrasi melalui kamar Badan Pengawas Pemilu. Pelanggaran administrasi menjadi kewenangan Bawaslu Provinsi atau Bawaslu Kabupaten Kota.

    Penindakan terhadap pelanggaran yang bersifat administratif pemilihan dilaksanakan melalui kamar Bawaslu.

    Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/kota, bertugas menerima, memeriksa dan mengkaji dugaan pelanggaran pemilihan sampai dengan memutus terhadap pelanggaran administrasi pemilihan.

    Putusan Bawaslu mengenai pelanggaran administrasi wajib ditindaklanjuti oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota paling lama 3(tiga) hari kerja sejak tanggal putusan dibacakan.

    *Penulis adalah Dosen Tetap Hukum Tata Negara dan Hukum Konstitusi pada Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu