JAKARTA – Dalam rangka memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Indonesia Women’s Rights Fund (IWRF), yang dibentuk Yayasan Penabulu melalui program CO-EVOLVE 2 dengan dukungan Uni Eropa, menggelar diskusi publik bertema “Krisis Iklim dan Kekerasan terhadap Perempuan” di salah satu hotel, di Jakarta, Senin 16 Desember 2024.
Acara ini bertujuan untuk menggali dampak perubahan iklim terhadap perempuan, terutama yang berada di kelompok rentan.
Krisis iklim yang terjadi di Indonesia membawa dampak signifikan bagi kerentanan sosial-ekonomi, khususnya pada perempuan di wilayah terdampak. Kelangkaan sumber daya, gagal panen, dan degradasi lahan telah memicu ketegangan sosial yang semakin memperburuk posisi perempuan.
Kekerasan terhadap perempuan, terutama yang tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim, menjadi dampak nyata dari krisis iklim.
Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, yang menjadi salah satu pembicara dalam diskusi tersebut, menekankan pentingnya perhatian terhadap resiliensi perempuan dalam menghadapi krisis iklim.
“Tanah, sungai, laut, segala sumber daya di dalamnya adalah sumber kehidupan. Saat krisis melanda, resiliensi perempuan menjadi harapan bagi kelangsungan hidup dan kebangkitan dari krisis,” ungkapnya.
Siti Mazumah, Koordinator Sekretaris Nasional Forum Pengada Layanan (FPL), juga menyampaikan pandangannya mengenai krisis iklim dan dampaknya terhadap perempuan.
“Krisis iklim dan kekerasan terhadap perempuan memiliki irisan yang erat. Perempuan kerap menjadi korban berulang akibat krisis iklim yang terjadi, seperti kesulitan dalam mencari sumber makanan, sumber air, dan polusi yang berdampak pada kesehatan reproduksi perempuan,” jelas Siti.
Ia menekankan pentingnya pendekatan lintas isu dan penanganan bersama agar perempuan tidak semakin terdampak.
Diskusi ini juga menghadirkan Uli Arta Siagian, Eksekutif Nasional WALHI, yang menegaskan perlunya kebijakan keadilan iklim.
“Krisis iklim adalah persoalan struktural yang disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang terus mengakomodasi industri ekstraktif. Dampak terbesar dari daya rusak industri ekstraktif dan krisis iklim tersebut dialami lebih berat oleh perempuan,” ujar Uli.
Ia menambahkan bahwa perempuan, meskipun seringkali terdampak, juga merupakan aktor utama dalam menjaga iklim melalui aksi-aksi adaptasi dan mitigasi.
Sugiarto Arif Santoso, Lead of Civic Space Yayasan Penabulu, turut memberikan pandangannya. Menurutnya, krisis iklim yang semakin memburuk tidak hanya mengancam ekologi, tetapi juga memperburuk kondisi sosial dan meningkatkan angka kekerasan terhadap perempuan.
“Diharapkan tercipta kebijakan yang lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan, yang memberi ruang bagi perempuan untuk berperan aktif dalam masa depan yang lebih hijau dan lebih berkeadilan,” tambah Sugiarto.
Ia juga menekankan pentingnya keadilan iklim untuk memberikan perlindungan dan dukungan bagi perempuan yang mengalami kekerasan akibat krisis iklim. Keadilan iklim harus mengakui peran penting perempuan dalam menjaga lingkungan dan mendorong keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan.
Acara ini diharapkan dapat mendorong terciptanya kebijakan yang lebih sensitif terhadap gender dan perubahan iklim, serta memberikan perlindungan bagi perempuan yang paling rentan terdampak krisis ini. *
Editor : Yamin