PALU – Peraturan Wali (Perwali) Kota Palu Nomor: 55 Tahun 2017 tentang Konpensasi Kelompok Pakar atau Tim Ahli Alat Kelengkapan DPRD dan Kompensasi Tenaga Ahli (TA) Fraksi DPRD Kota Palu, dinilai diskriminatif, sehingga dipandang perlu dievaluasi kembali.

Seluruh TA yang ada di DPRD Kota Palu meminta kepada Sekretaris DPRD dan Pemerintah Kota (Pemkot) Palu untuk meninjau kembali besaran insetif dan kebijakan yang berkaitan dengan hak dan kewajiban TA fraksi sesuai dengan aturan yang berlaku.

Besaran kompensasi khusus TA yang telah ditetapkan dalam Perwali tersebut bervariasi setiap bulannya, berdasarkan jenjang pendidikan. Untuk kualifikasi pendidikan S3 sebesar Rp5 juta, S2 sebesar Rp3 juta dan S1 sebesar Rp1,5 juta.

“Kita duduk dipercaya disini oleh partai telah memenuhi syarat berdasarkan amanat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor: 18 Tahun 2017. Tapi besaran kompensasi yang ditetapkan dalam Perwali bervariasi berdasarkan jenjang pendidikan. Ini ambil dasar darimana, terlebih beban kerja sama kok,” ketus TA Fraksi Gerindra, Amin Panto yang didampingi seluruh TA fraksi DPRD Kota Palu, Senin (12/03).

Bahkan kata dia, penetapan insentif TA fraksi yang terus merosot, terkesan disamakan dengan insentif tenaga kontrak. Hal itu menurutnya merupakan hal yang keliru dan menyepelekan rekomendasi partai melalui fraksi.

“Sudah jelas bahwa Pemkot juga mengabaikan amanat UU Ketenagakerjaan tentang besaran upah karyawan sesuai dengan UMK,” keluhnya.

Dia menegaskan, penyebutan TA, baik dalam PP 18 tahun 2017 dan aturan lain, merupakan pembeda dengan seorang tenaga kerja biasa/umum, sehingga pemberian kompensasi TA juga berbeda dengan tenaga kerja biasa/umum.

Olehnya, kata Amin, Perwali tersebut harus ditinjau kembali, mengingat keberadaan mereka di DPRD sudah sesuai dengan pasal 20 pasal 23 dan pasal 24 PP Nomor 18 tahun 2017 tentang Hak Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD,  dimana dalam salah satu pasal dan ayatnya, yakni pasal 23 ayat 4, disebutkan bahwa kompensasi kelompok pakar atau tim ahli DPRD berdasarkan kehadiran sesuai kebutuhan DPRD.

“Sedangkan pasal 24 yang mengatur tentang TA fraksi, tidak secara jelas menyebutkan tentang pembayaran kompensasi berdasarkan kehadiran ataupun jenjang pendidikan seperti pada pasal 23 PP 18 Tahun 2017,” ucapnya.

Dikatakannya, TA fraksi direkomendasikan partai politik melalui fraksi sebagai perpanjangan partai politik di DPRD.

“Sehingga seorang TA fraksi benar-benar orang yang memiliki keahlian untuk membantu kerja-kerja fraksi,” tekannya.

Bukan hanya itu, para TA fraksi juga mempertanyakan pajak yang dikenakan pada mereka, yang dinilai tidak sesuai dengan amanat Peraturan Jenderal Pajak Nomor. PER-16/PJ/2016, Peraturan Menteri Keuangan yaitu PMK No. 101/PMK.010/2016 dan PMK No. 102/PMK.010/2016 pada tanggal 22 Juni 2016 dan berlaku sejak tanggal 1 Januari 2016.

Dalam peraturan itu telah ditetapkan rincian Penghasilan Tidak Kena Pajak (TPKP) dan status kena wajib pajak pribadi jumlah per bulan sebesar Rp4,5 juta atau Rp54 juta setahun.

“Faktanya, kita yang punya penghasilan Rp1,5 juta dan Rp3 juta, tetap dikenakan pajak penghasilan. Ini juga harus dijelaskan oleh Sekretariat DPRD. Bayangkan saja, jika dihitung dari potongan pajak tersebut dan daftar kehadiran, rata-rata kami hanya menerima setengah dari upah kami, bahkan salah satu dari kami pada bulan Januari 2018 hanya mendapat upah dibawah Rp200 ribu saja,” tandas Amin. (YUSUF/YAMIN)