POSO – Rumah Perlindungan Perempuan dan Anak (RPPA) Mosintuwu Poso mengajak masyarakat menghentikan pemberian stigma terhadap perempuan korban, salah satunya stigma Pelakor (Perebut Lelaki Orang). Petisi ini ditandatangani 50 perempuan yang terlibat dalam jaringan RPPA Se-Kabupaten Poso.

Kordinator RPPA Mosintuwu, Evi Tampakatu, Jumat (09/03) mengatakan, pemberian stigma terhadap perempuan korban sama halnya dengan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan. Menurutnya saat ini banyak sekali terjadi kasus kekerasan terhadap perempuan yang terhambat proses hukumnya dikarenakan salah satunya adalah stigma korban adalah perempuan yang lalai, penggoda, pelakor, dan lain sebagainya.

“Penandatanganan petisi kita galang sebagai simbol mengajak masarakat Poso menghentikan stigma kepada perempuan apalagi korban sebagai pelakor,” ungkap Evi.

Ditambahkan penggalangan petisi yang dipusatkan di Tentena, Kelurahan Sangele, Kecamatan Pamona Puselemba itu dilakukan dalam rangka merayakan International Women’s Day (IWD).Diakuinya, penandatanganan petisi sebagai bentuk perlawanan terhadap stigma yang menghambat proses perempuan korban kekerasan memperoleh keadilan.

Evi menceritakan, perempuan korban perkosaan dalam hukum adat kerap dianggap lalai dalam menjaga kehormatannya sehingga dia dikenakan denda atas apa yang menimpanya. Saat berhadapan dengan aparat hukum, perempuan sering dianggap “sudah terlanjur kotor” sehingga sering sekali mereka justru memediasi antara pelaku dengan korban agar pelaku menikahi korban.

“Bahkan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sangat lamban dan terkesan tidak serius. Padahal, setiap hari di Kabupaten Poso, terjadi berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, kekerasan fisik, psikologi, dan ekonomi,” kata Evi.

RPPA Mosintuwu Poso mencatat selama tahun 2016 – 2017 terdapat 20 kasus kekerasan dalam rumah tangga dan 15 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Diantaranya terdapat 4 kasus pemerkosaan anak yang menyebabkan kehamilan, salah satunya masih berusia anak 13 tahun. (MANSUR)