PALU – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sulteng, Nurmawati Dewi Bantilan (NDB), bekerjasama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulteng, menggelar Dialog Publik Sosialisasi DPD RI, Senin (19/02). Dialog bertajuk “Mewujudkan Kinerja Konstitusional DPD RI” itu dihadiri tiga narasumber lainnya dari akademisi, yakni Dr Nur Alamsyah dari FISIP Untad, Dr Nasrullah Muhammadong dari Fakultas Hukum dan Nur Alatas yang juga mantan jurnalis.

Pada kesempatan itu, NDB menguraikan beberapa hal yang saat ini tengah merebak di kalangan masyarakat maupun elit, yakni mengenai eksistensi DPD sebagai lembaga Negara yang dianggap tidak berfungsi maksimal.

Menurut Nurmawati, keberadaan DPD sangat penting bagi Indonesia yang lahir sebagai buah reformasi.

Meski demikian, Nurmawati mengakui adanya keterbatasan wewenang dalam menjalankan fungsi-fungsinya, baik dari segi legislasi, budgeting dan pengawasan.

“Keterbatasan wewenang ini harus diakui karena aturan undang-undang. Semua yang kami inisiasi, tetap saja eksekusinya ada di DPR. Solusinya adalah amandemen undang-undang untuk memperkuat kewenangan DPD,” kata Wati, sapaan akrabnya.

Meski demikian, pihaknya tetap berupaya memperjuangkan apa yang menjadi persoalan di daerah masing-masing.

Wati menolak jika selama ini DPD dianggap tidak memiliki kerja-kerja kongkrit untuk daerah yang diwakili masing-masing.

Beberapa perjuangan yang kini sudah dinikmati oleh masyarakat, diantaranya pemekaran Kabupaten Sigi, penyelesaian konflik Poso lewat pendekatan ekonomi.

Nurmawati Dewi Bantilan

“Pemekaran Kabupaten Sigi di zaman saya. Alhamdulillah dengan berbagai persoalan terkait pelayanan saat masih bersama Kabupaten Donggala akhirnya Kabupaten Sigi bisa menjadi Daerah Otonomi Baru yang berdiri sendiri,” katanya.

Dia menambahkan, selama periode 2014-2019 ini, pihaknya juga sudah mengajukan sebanyak 81 Rancangan Undang-Undang.

“Ratusan pandangan dan pendapat, ratusan pertimbangan dan hasil pengawasan,” tutur Senator yang sudah duduk selama tiga periode di DPD RI itu.

Dia juga menyinggung usulan tiga Daerah Otonomi Baru (DOB) di Sulteng yang telah dinyatakan lengkap, yakni Provinsi Sulawesi Timur (Sultim), Kabupaten Tomini Raya dan Kabupaten Moutong. Saat ini, kata dia, tinggal menunggu kebijakan pemerintah pusat, terkait moratorium pemekaran daerah kabupaten/kota atau provinsi.

“Kami sudah membahas dan telah disetujui. Namun karena pemerintah pusat belum mencabut moratorium pemekaran, sehingga DOB tersebut belum dieksekusi. Insya Allah tinggal menunggu kebijakan dari pemerintah pusat,” tandasnya.

Sementara Ahli Hukum Tata Negara, Dr Nasrullah Muhammadong mengatakan, lahirnya UU MD3 saat ini telah memperkuat posisi DPD untuk mengkritisi atau mengawasi keuangan daerah.

Namun, kata dia, tetap harus didorong untuk amandemen, utamanya yang membolehkan anggota DPD dari parpol.

“Amandemen undang-undang harus “dipaku mati”. Orang DPD tidak boleh dari parpol, bahkan merangkap jabatan,” tegasnya.

Hal senada juga dikatakan narasumber lainnya, Dr Nur Alatas. Bahkan kata dia, DPR sebagai perumus regulasi sengaja melemahkan DPD karena takut “lahannya” diambil.

Sementara akademisi FISIP Untad, Dr Nur Alamsyah, secara ringkas menyatakan, DPD penting dan tidak boleh ditiadakan. Mengingat lembaga tersebut merupakan representase daerah di tingkat pusat. (YAMIN/RIFAY)