Hari yang seharusnya menjadi ajang aspirasi rakyat, Jalan Samratulangi Kota Palu justru berubah menjadi medan “pertempuran” tak terelakkan antara aparat keamanan dan mahasiswa yang berjuang menyuarakan hati nurani.

Aliansi mahasiswa se-Kota Palu, yang terdiri dari berbagai universitas besar seperti Universitas Tadulako (Untad), Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama Palu, Alkhairaat Palu, dan Universitas Muhammadiyah Palu, berkumpul dengan satu tujuan. Mengawal hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap krusial bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Sejak pagi, di jalan tempat berjejernya kantor instansi vital yang biasanya sibuk dengan lalu lintas, telah dipenuhi ribuan mahasiswa yang datang dari berbagai penjuru kota. Mereka mengenakan almamater kampus, membawa spanduk-spanduk bertuliskan pesan-pesan kritis, seperti “Putuskan Rantai Dinasti Jokowi”.

Harapan mereka adalah satu, bertemu dan berdialog langsung dengan para wakil rakyat di Gedung DPRD Sulawesi Tengah. Namun semuanya hanya harapan yang terbuang.

Suasana berubah panas ketika massa mencoba memasuki gedung DPRD. Aparat kepolisian, yang telah bersiaga sejak pagi, dengan cepat merespons upaya ini dengan menyemprotkan air dari mobil water cannon. Ketegangan semakin meningkat, dan akhirnya ledakan bentrokan pun tak terelakkan.

Dalam hitungan detik, suara tembakan gas air mata menggelegar, menyebar ke seluruh sudut jalan.

Massa yang tadinya penuh semangat kini berlarian, mencoba menyelamatkan diri dari gas yang membakar mata dan membuat sesak nafas.

Di tengah kepanikan, beberapa mahasiswa terlihat terjatuh, menjadi korban dalam perjuangan yang mulai kehilangan arah.

Kombes Pol. Barliansyah, yang memimpin pasukan berseragam cokelat, sebelumnya sempat memberikan peringatan kepada massa agar aksi berlangsung damai.

Namun, realita di lapangan berkata lain. Kepungan gas air mata menggantikan harapan dialog damai. Beberapa mahasiswa terluka, satu di antaranya harus menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Bhayangkara Palu, sementara yang lain mendapatkan pertolongan di rumah sakit Undata Palu karena luka di bagian telinga.

Hujan deras akhirnya mengguyur Kota Palu sore itu, seolah menjadi simbol berakhirnya harapan.

Massa bubar, meninggalkan jalanan yang penuh dengan sisa-sisa kericuhan, batu-batu berserakan, spanduk yang koyak, dan properti demonstrasi yang rusak. Gedung DPRD yang semula menjadi tujuan perjuangan kini terlihat sunyi, tanpa ada kesepakatan yang tercapai.

Aksi yang dimulai dengan semangat tinggi untuk memperjuangkan keadilan berakhir dengan kepedihan. Bukan hanya mahasiswa dan polisi yang menjadi korban, tetapi juga masyarakat sekitar yang harus menelan getirnya gas air mata dan kebisingan yang menyayat telinga. Demokrasi, yang seharusnya menjadi milik rakyat, terasa semakin jauh dari genggaman, terserak di antara gas air mata dan hujan yang deras mengguyur Kota Palu.

Penulis : Mun
Editor : Yamin