Saban tahun umat Islam bertemu dengan Dzulhijjah. Bulan yang di dalamnya disunahkan bagi setiap Muslim untuk menyembelih hewan kurban.

Syariat yang ditetapkan oleh Allah sesaat setelah Nabi Ibrahim berhasil menundukkan ego dalam dirinya dan sepenuhnya total mengabdi kepada Allah dengan siap mengorbankan apa pun demi mendapat ridho Allah, termasuk harta termahal di dunia, anak darah dagingnya sendiri.

Ibadah qurban memiliki pesan moral yang sangat dalam. Dari sisi sosial, syariat kurban menuntun umat Islam untuk tidak terjebak pada individualisme- materialisme yang berakibat pada keroposnya solidaritas dan soliditas internal umat Islam. Dengan syariat kurban diharapkan semua umat Islam secara berjamaah tetap komitmen dan konsisten pada keimanan kepada Allah SWT.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai” (QS [3]: 103).

Berpegang kepada tali Allah berarti semua umat Islam harus saling menjaga, memelihara, dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah secara bahu-membahu dengan cara saling asah-asih-asuh.

Kurban pada hakikatnya tidak sekadar mengalirkan darah binatang sembelihan, tidak hanya memotong hewan kurban, tetapi lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan seorang hamba secara totalitas terhadap perintah Allah SWT dan sikap menghindar dari yang dilarang-Nya.

Berqurban juga berarti menyembelih sifat-sifat hewani yang melekat dalam diri setiap manusia. Karena itu, sangatlah berat, tidak setiap orang yang berkurban mampu melakukannya kecuali yang menyadari bahwa semua yang dimiliki itu -baik berupa harta, jabatan, pengikut, keluarga, dan popularitas- hanyalah titipan-Nya yang tidak layak untuk disombongkan, dan dapat diambil kapan saja jika ia menghendaki.

Ibadah kurban memiliki dimensi sedekah dan berbagi. Oleh sebab itu, tujuan ibadah kurban (juga ibadah lainnnya) bukan hanya untuk mencapai kemaslahatan ukhrawi, tapi juga bertujuan bagi kemaslahatan duniawi.

Setiap pensyariatan dalam Islam, terkandung tujuan syariat (yang disebut oleh para ulama dengan maqashidus syari’ah), yaitu tercapainya kemaslahatan dunia dan akhirat.

Melalui ibadah qurban, seorang hamba ditempa untuk memiliki jiwa kepedulian terhadap orang lain. Satu hikmah berkurban adalah menggembirakan golongan fakir miskin. Sebab, tidak semua orang mampu makan dengan daging walaupun dia tinggal di kota besar.

Maka dianjurkan bagi orang yang mampu untuk berkurban dan membagi-bagikan daging dari hewan kurban tersebut kepada fakir miskin sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Beliau (Rasulullah) memberi makan dari dua qurbannya itu untuk orang miskin, dan beliau beserta ahlinya ikut memakannya.” (HR. Ahmad)

Ibadah kurban dalam makna dimensi vertikal tecermin pada keikhlasan pemilik kurban (orang yang berkurban) dalam memberikan daging hewan kurban tanpa mengharap imbalan apa pun di dunia. Bentuk keikhlasan dalam berkurban di sini tidak karena mengikhlaskan barang yang sudah tidak bermanfaat baginya, tetapi mengikhlaskan harta yang sebenarnya masih dicintainya (QS. Ali Imran: 92). Hanya saja karena kecintaan kepada Tuhan lebih besar melebihi dunia seisinya.

Qurban adalah bentuk paling nyata dari keimanan seorang Muslim untuk mengajak saudara yang lain turut bahagia dalam menapaki hidup dengan berpegang teguh kepada tali Allah, sehingga tercipta ukhuwah Islamiyah yang kuat dan kokoh.

Karena Allah tidak menyukai umat Islam hidup tercerai berai, sehingga mudah dikalahkan oleh umat lainnya. Wallahu a’lam

DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)