OLEH: Fitri Wardani*

Islam masuk ke Nusantara pertama kali pada abad 1 Hijriah, tepatnya di Aceh. Islam dibawa oleh para pedagang Arab yang diikuti oleh orang-orang Persia dan Gujarat ke Pesisir Sumatera (Perlak atau Samudra Pasai). Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya makam raja Samudra Pasai yang dikenal dengan Malik ash-Shaleh. Berdasarkan catatan rihlah Ibnu Batutah, Islam masuk ke Aceh pada penghujung abad pertama Hijriah, yang dibawa oleh pedagang Arab dan India yang melakukan perdagangan di sepanjang pesisir Aceh. Penyebarannya dilakukan melalui beberapa jalur atau metode, yaitu jalur perdagangan, jalur perkawinan, jalur pendidikan, jalur kesenian, dan jalur tasawuf. Masuknya Islam membawa perubahan yang luar biasa terhadap masyarakat Aceh. Niai-nilai Islam mulai diaplikasikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh.

Aceh, sebagaimana yang kita ketahui bahwa, ia merupakan provinsi di Indonesia yang mendapat julukan Serambi Mekkah. Melalui perkembangan syari’at Islam serta aturan-aturan hukum Islam yang berlaku di daerahnya, Aceh dijuluki dengan Serambi Mekkah. Jika dikaitkan dengan sejarah masuknya Islam di Nusantara, wajar saja Aceh mendapat julukan tersebut. Karena, perkembangan Islam di Aceh mulai dari awal masukya Islam, sangat berkembang pesat. Penerapan nilai-nilai Islam melalui kerajaan-kerajaan yang telah berdiri saat itu. Contohnya seperti kerajaan Samudra Pasai, merupakan kerajaan yang pertama berdiri di Aceh. Terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara. Kerajaan ini didirikan oleh Raja Merah Silu yang bergelar Sultan Malik ash-Shaleh, yang merupakan raja pertama kerajaan ini. Perkembangan Islam di Aceh pada saat itu, bisa dilihat dari kejayaan atau kemajuan yang dihasilkan oleh kerajaan Samudra Pasai dalam bidang ke-Islamannya.  Samudra Pasai menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kerajaan ini juga menjadi pusat perdagagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekpor utama. Sekelompok masyarakat Aceh juga berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh Islam, untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya disebut Arab Jawi. Perkembangan ini terdapat pada tahun 1360 M yang menjadi tanda awal dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi Nusantara. (Akbar, 2006)

Selain kerajaan Samudra Pasai, terdapat juga beberapa kerajaan lainnya di Aceh. Islam terus berkembang, bahkan dalam segi budaya, pendidikan, dan tasawufnya. Seiring berkembangnya Islam di Aceh, muncul beberapa tokoh tasawuf sekaligus penyair terkenal, salah satunya Hamzah Fansuri.

Semua orang yang mengkaji sejarah, sastra dan Islam di kawasan Asia Tenggara tidak dapat mengenyampingkan tokoh ini, Hmazah Fansuri. Beliau adalah sosok sufi dan penyair Melayu yang sangat berpengaruh pada masanya dan bahkan sampai beberapa abad setelahnya. Beliau juga merupakan sosok ulama dan birokrat yang kritis terhadap penguasa. Namun, sejarah kehidupan tokoh ini masih diliputi oleh misteri. Sumber-sumber tempatan (traditional sources) abad ke-17 M., seperti Hikayat Aceh, Adat Aceh, dan Bustan al-Salatin, tidak sedikitpun menyinggung secara eksplisit mengenai tokoh ini. Demikian juga haknya dengan berbagai sumber luar, terutama karya-karya Eropa. (Hadi, 2010)

Hamzah Fansuri juga seorang tokoh sufi dan penyair yang sangat masyhur di Aceh. Dalam buku Hamzah Fansuri, Prof. A. Hasymi menyebut bahwa Syeikh Hamzah Fansuri hidup dalam masa pemerintahan Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saiyidil Mukammil (997-1011 H / 1589-1604 M) sampai ke permulaan pemerintahan Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Mahkota Alam (1016-1045 H / 1607-1636 M).

Syamsun Ni’am dalam tulisannya mengatakan bahwa, menurut beberapa catatan sejarah, Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang dinamai “Fansur” oleh beberapa orang Arab pada zamannya. Nama ini kemudian menjadi laqab yang diberikan kepada nama Hamzah, yaitu al-Fansuri. Kota Fansur terletak di pantai Barat provinsi Sumatera Utara, di antara Singkil dan Sibolga. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri berasal dari Bandar Ayudhi (Ayuthia), Ibukota Kerajaan Siam, tepatnya di suatu desa yang bernama Syahru Nawi di Siam, sekarang dinamakan dengan Thailand. (Ni’am, 2017).

Meskipun biografi mengenai kehidupan Hamzah Fansuri sering tidak ditemukan, namun banyak para sejarawan yang tidak lupa membahas Hamzah Fansuri mengenai kesufian dan syair-syair yang dikarang olehnya. Serta ajaran tasawuf yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri. Selama Islam terus berkembang di Nusantara, Hamzah Fansuri mampu mengajarkan tasawuf etika, estetika, dan metafisika. Ajaran Hamzah Fansuri tidak jauh dari tasawuf yang dikenal di Persia yaitu wujudiyah, karena memang tasawufnya berkembang dari Persia, ajaran wujudiyah yang diajarkan Hamzah Fansuri lebih mudah diterima, terutama di Aceh, tepatnya pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Syah pada akhir Abad 16 M (1588-1604).(Triyandani, 2017)

Pengalaman kesufian yang diperoleh dari pengembaraan ke berbagai negeri, dan daerah di Nusantara memungkinkan Hamzah Fansuri menuangkan pengetahuan dan pengalamannya dalam banyak karangan. Karangan Hamzah Fansuri tersebut terbagi dalam dua bentuk, yakni karya yang berbentuk prosa dan karya yang berbentuk syair.

Namun demikian masih ada kemungkinan karya Hamzah Fansuri yang belum ditemukan dan tidak teridentifikasi. Pada dasarnya, prosa dan syair karangan Hamzah Fansuri jumlahnya sangatlah banyak. Karya-karyanya tersebut sempat dibakar oleh Nuruddin al-Raniry dan murid-muridnya yang tidak menyukai ajaran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri. Tempat pembakaran itu terjadi di depan Masjid Raya Aceh (Masjid Raya Baiturrahman), sebagian besar karyanya hangus. Hanya ada beberapa risalah tasawuf yang berhasil diselamatkan dan dianggap sebagai karya orisinal Hamzah Fansuri. Tidak banyak karya prosa dan puisi karangan Hamzah Fansuri yang ada sampai saat ini. Menurut Abdul Hadi hanya tiga risalah tasawuf dan sekurang-kurangnya tiga puluh dua kumpulan syair yang asli. (Fauzi, 2009)

Banyak yang menyatakan bahwa Hamzah Fansuri dipengaruhi dan selanjutnya menjadi penganut ajaran tasawuf Persia yang dipopulerkan oleh para sufi seperti halnya Abu Yazid al-Bistami, Abu Manshur al-Hallaj, Ahmad al-Ghazali (adik kandung Abu Hamid al-Ghazali) dan Ibnu Arabi, sehingga bisa dikatakan bahwa paham Wahdat al-Wujudnya tidaklah jauh berbeda dengan apa yang diajarkan oleh tokoh-tokoh besar tersebut. Beliau juga memperoleh ajaran-ajaran tersebut dari Abdul Karim al-Jilli dan beberapa tokoh lain ketika melakukan pengembaraan di Arab dan Persia.(Triyandani, 2017)

Wahdatul Wujud dalam ajaran Hamzah Fansuri adalah ajaran yang meyakini bahwa Tuhan dapat bersatu dengan makhluknya atau serupa dengan pengertian pantheisme. Tuhan itu memiliki sifat-sifat terpuji yang di antaranya adalah Karim, Hakim, Rahman, dan Rahim. Karena sifat-sifat tersebutlah, Tuhan maha Agung. Selain itu, karena Rahman-Nya Dia mencipta, sedangkan ciptaannya yang ada di muka bumi ini adalah jelmaan dari nama-nama dan sifat Tuhan. Namun, tetap saja yang wujud itu satu, karena semua termanifestasikan dari Dia, tidak ada keterpiahan antara keduanya. Rahman Tuhan melampaui segala sesuatu, sehingga apapun yang terjadi adalah manifestasi dari rahman-Nya.(Triyandani, 2017)

Selain dikenal sebagai tokoh sufi dan penyair yang terkemuka, Hamzah Fansuri juga dianggap sebagai seorang yang ahli dalam beberapa bidang lainnya, yaitu dalam bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Karya-karyanya banyak dibaca oleh masyarakat. Beliau juga berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu dalam syair-syairnya. Beliau menjadi seorang tokoh yang multitalenta. Tidak hanya mampu dalam bidang tertentu saja, namun mampu dan ahli dalam berbagai bidang. Itulah mengapa para sejarawan banyak membahas mengenai keahlian Hamzah Fansuri. ***

*Penulis adalah Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta