Oleh: Dr. Kamridah, M. Th.I

AGUSTUS 2025 menandai tonggak bersejarah bagi Indonesia -80 tahun Kemerdekaan. Delapan decade yang lalu, para founding father kita memproklamasikan kemerdekaan dengan semangat dan harapan membara. Kini, dengan tema “Bersatu Berdaulat, rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”, Kita dihadapkan pada pertanyaan krusial; Benarkah Indonesia telah merdeka dalam arti yang sesungguhnya?

Merdeka secara politik memang telah kita raih sejak 1945. Namun, kemerdekaan sejati menuntut lebih dari sekedar pengibaran bendera dan upacara seremonial. Indonesia saat ini masih bergulat dengan persoalan mendasar yang menggerogoti fondasi bangsa: korupsi yang mengakar, kesenjangan sosial yang menganga, dan mental kolonial yang masih bercokol di berbagai lini kehidupan. Data terbaru menunjukkan bahwa meskipun ekonomi Indonesia terus tumbuh, distribusi kemakmuran masih belum merata. Kesenjangan antara kaya dan miskin tetap menjadi PR besar yang membutuhkan penanganan serius, ini bukan sekadar angka statistik, melainkan cerminan dari sistem yang belum sepenuhnya berpihak pada rakyat.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah persistensi kolonial di era modern. Kita sering kali masih terpaku pada standar dan validasi dari luar, mengabaikan kekayaan budaya dan potensi local yang tak terhingga. Media sosial dan globalisasi, alih-alih memperkuat identitas bangsa, malah kerap membuat kita kehilangan jati diri. Generasi muda Indonesia tumbuh dengan lebih familiar terhadap budaya pop asing ketimbang kearifan local. Bahasa daerah mulai punah, sementara Bahasa Indonesia sendiri semakin terkikis oleh dominasi Bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari. Ironi ini terjadi tepat Ketika kita memasuki usia kemerdekaan yang ke-80.

Pemerintah Kembali mengusung semangat gotong royong sebagai solusi permasalahan bangsa. Namun, gotong royong tidak boleh sekedar menjadi slogan kampanye atau retorika politik kosong. Gotong royong sejati mensyaratkan adanya kepercayaan timbal balik antara rakyat dan pemimpin, transparansi dalam pengelolaan sumber daya, dan komitmen nyata untuk mengutamakan kepentingan Bersama di atas kepentingan golongan. Sayangnya, kepercayaan publik terhadap institusi negara masih rapuh. Skandal korupsi yang silih berganti, janji politik yang tak kunjung terwujud, dan ketimpangan akses terhadap keadilan membuat rakyat skeptis terhadap seruan persatuan dari atas. Bagaimana mungkin kita Bersatu jika fondasi kepercayannya sendiri retak?

Untuk mewujudkan “Indonesia Maju” yang tidak sekedar slogan, diperlukan agenda konkret yang menyentuh akar permasalahan:

Pertama, revolusi mental yang dimulai dari sistem Pendidikan. Kurikulum harus lebih menekankan pada pembentukan karakter, critical thingking, dan kecintaan terhadap tanah air. Bukan sekedar menghafal tanggal kemerdekaan, tetapi memahami esensi perjuangan dan relevansinya dengan tantangan masa kini.

Kedua, Pemberantasan korupsi yang sistemik dan berkelanjutan. Bukan hanya menangkap “ikan besar” sesekali untuk pencitraan, tetapi membangun sistem yang transparan dan akuntabel di semua lini pemerintahan. Teknologi digital harus dimanfaatkan maksimal untuk menciptakan tata Kelola yang bersih.

Ketiga, pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada potensi local. Indonesiua memiliki kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Alih-alih terus bergantung pada investasi asing dan ekspor bahan mentah, saatnya membangun industri yang berbasis pada keunggulan komparatif kita sendiri.

Keempat, penguatan demokrasi substantif, bukan sekedar procedural. Ruang partisipasi publik harus diperluas, bukan dipersempit. Media harus bebas menjalankan fungsi kontrolnya, dan civil society harus diberi ruang yang lebih luas untuk berkontribusi.

Generasi muda Indonesia hari ini lahir dalam kondisi Indonesia yang sudah merdeka. Mereka tidak merasakan perjuangan fisik melawan penjajah, tetapi mereka menghadapi bentuk penjajahan yang lebih subtil; kemiskinan structural, ketidakadilan sistem, dan hilangnya harapan akan masa depan yang lebih baik. HUT ke -80 kemerdekaan ini harus menjadi momentum untuk memberikan estafet kepemimpinan kepada generasi yang lebih segar, yang tidak terbebani oleh ego dan kepentingan masa lalu. Generasi yang memiliki visi jernih tentang Indonesia yang ingin dicapai di masa depan.

Setelah 80 tahun merdeka, Indonesia berada dipersimpangan jalan. Kita bisa memilih untuk terus terjebak dalam ritual kemerdekaan yang seremonial, atau berani mengambil Langkah transformative untuk mewujudkan kemerdekaan yang sesungguhnya. Kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga bebas dari kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan. Kemerdekaan sejati adalah Ketika setiap warga negara Indonesia memiliki akses yang sama terhadap Pendidikan berkualitas, layanan Kesehatan yang memadai, dan peluang ekonomi yang fair.

HUT ke-80 ini bukan saatnya untuk berpuas diri dengan pencpaian masa lalu, tetapi untuk inropeksi dan merancang roadmap menuju Indonesia yang benar-benar merdeka, berdaulat, dan sejahtera. Jika tidak sekarang kapan lagi? Jika bukan kita siapa lagi?

Dirgahayu Indonesia ke 80. Merdeka!

*Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin dan Adab UIN Datokarama Palu