Makassar- Laporan riset Save the Children berjudul Circular Geniuses membahas limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan dirilis pada Februari 2023 menjelaskan, total potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 Ton per tahun.
Di Indonesia limbah elektronik mencapai 1,8 juta ton setiap tahun, hanya 10 persen dikelola dengan benar dan memiliki izin secara resmi 90 persen dikelola oleh sektor informal baik individu maupun kelompok tidak memiliki izin dan tidak terdaftar.
Sementara, limbah elektronik di Indonesia termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan membutuhkan izin khusus untuk menanganinya sesuai dengan ketentuan peraturan UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan PP Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Laporan riset juga memperlihatkan bahwa di Kota Makassar, tidak hanya pemulung dewasa tetapi setidaknya terdapat dua ratus pemulung anak-anak berusia antara 6 sampai dengan 17 tahun berada pada level paling bawah di sistem limbah elektronik yakni mengumpulkan limbah tersebut.
Tak jarang dari mereka juga terlibat dalam proses pemilahan tidak aman seperti membakar plastik secara terbuka, membongkar komponen papan sirkuit dengan cara tidak aman, dan diperparah dengan tidak dilengkapi peralatan keselamatan tepat, sehingga dapat mengekspos diri mereka terhadap bahaya keselamatan dan kesehatan.
“Saya tidak ingin menjadi pemulung, tetapi ibu memaksa kami untuk bekerja di TPA agar mendapatkan uang untuk sehari-hari. Seringkali saya ikut kakak mengumpulkan sampah. Saya berharap kita semua bisa bermain dan bersekolah secara normal seperti anak-anak lain,” tutur Santi (13) pemulung usia anak.
Dalam keterangan tertulis diterima MAL Online, Chief Advocay, Campaign, Communication & Media – Save the Children Indonesia Troy Pantouw menegaskan, tentang faktor utama penyebab anak – anak terlibat dalam pengumpulan sampah di Makassar. “Riset kami jelas memaparkan bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama orang tua memaksa anak-anak mereka bekerja sebagai pemulung. Hal ini menjadi lebih parah ketika anak-anak bekerja di sektor informal limbah elektronik, karena tentu mengancam kesehatan dan keselamatan anak-anak,” tegas Troy Pantouw.
Di Kota Makassar, tiga kecamatan memiliki limbah elektronik terbesar adalah Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Marisa. Persentase jenis limbah pun beragam terbanyak meliputi televisi sebesar 100 persen, ponsel 99,7 persen, kipas 93,2 persen , penanak nasi 88,7 persen, setrika 93,2 persen, kulkas 89,2 persen, laptop 76,4 persen dan AC 49,5 persen.
Masyarakat di Makassar mengelola limbah elektronik dengan cara 40 persen disimpan, 33 persen dijual, 20 persen diperbaiki, 4 persen dibuang, dan hanya 3 persen didaur ulang.
Sampah elektronik merupakan jenis sampah dengan pertumbuhan paling cepat di dunia, bahkan berpotensi menjadi sampah terbanyak kedua setelah limbah plastik dan tekstil.
Limbah elektronik tidak dikelola dengan baik akan menjadi polusi dan menghasilkan emisi, hingga berisiko mengganggu kesehatan masyarakat, termasuk anak-anak, baik anak-anak terpaksa bekerja sebagai pemulung, maupun yang hidup di bantaran TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Hal ini terjadi secara global, termasuk di kota Makassar.
Tak hanya temuan masalah, riset limbah elektronik dan ekonomi berkelanjutan juga menyebutkan bahwa sektor elektronik sirkular atau daur ulang sampah elektronik dapat menciptakan 75.000 pekerjaan layak dan ramah lingkungan pada 2030, di mana 91 persen berpotensi dikelola oleh perempuan dan berkontribusi pada transisi hijau lebih inklusif. Ada harapan dari pengelolaan limbah elektronik, terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan baru berkontribusi pada masa depan ekonomi dan lingkungan berkelanjutan.
Save the Children mengapresiasi langkah korporasi yang berupaya melakukan transisi hijau dengan mengedepankan prinsip pemenuhan hak anak, salah satunya adalah penelitian Circular Geniuses yang dilakukan oleh Save the Children Indonesia dan Accenture.
Save the Children bekerja sama dengan Accenture telah melakukan pemetaan potensi dan masalah pengelolaan limbah elektronik di Makassar sejak akhir 2022. Hal ini bertujuan mendukung keluarga pemulung dengan menjamin kesehatan dan keselamatan, meningkatkan keterampilan dan pendidikan keluarga untuk bangkit dari kemiskinan, dan menjamin pekerjaan lebih layak. Termasuk melindungi anak-anak dari terekspos oleh bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, berupaya memenuhi hak anak untuk memperoleh pendidikan layak serta akses kesehatan, dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan.
Proses pemetaan holistik masih berlangsung. Salah satu rangkaian kegiatan pemetaan ini adalah melakukan pertemuan dengan Pemerintah Kota Makassar dan para pemangku kebijakan, termasuk organisasi berbasis masyarakat dan pihak swasta terkait dalam pengelolaan sampah elektronik lebih aman di Kota Makassar.
“Kami menghargai dan berterimakasih atas upaya riset dilakukan oleh Save the Children Indonesia. Dari hasil riset ini, kami berharap kita dapat bersama-sama membangun sistem dan manajemen pengelolaan limbah elektronik lebih aman baik pada manusianya dan juga lingkungannya, serta kita dorong adanya ekosistem kemitraan dalam pengelolaan limbah elektronik ini.“ jelas Ferdi Mochtar, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar.
Reporter: IKRAM/***
Editor: NANANG