Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kelurahan Poboya yang terus berlangsung juga memicu degradasi lahan sekitar DAS Poboya.

Data Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Palu-Poso mencatat hingga tahun 2022 dari total 7.661.94 hektare luas DAS Poboya, lahan berstatus sangat kritis mencapai 406.10 hektare dan 70.90 hektare statusnya kritis.

Selain itu terdapat lahan dengan status agak kritis seluas 6.267.42 hektare dan yang berpotensi kritis 423.35 hektare. Hanya 444.17 hektare lahan di kawasan itu yang tercatat masih baik alias tidak kritis.

Kepala Seksi Perencanaan dan Evaluasi BPDAS Palu-Poso, Sumarman, mengungkapkan, status lahan kritis dalam data tahun 2022 itu bisa saja bertambah, terlebih dengan aktivitas PETI tetap ada di kawasan itu.

Aktivitas pertambangan ilegal, kata Sumarman, punya kontribusi besar pada degradasi lahan karena sifatnya yang hanya mementingkan pengambilan material tanpa rencana pemulihan lingkungan.

“Kontribusi PETI pada kerusakan lahan besar karena ada pembukaan lahan dan tanah subur dari lahan yang dibuang. Yang tersisa adalah tanah yang tidak bisa ditanami. Tanpa analisa pun kami kategorikan itu lahan kritis,” ungkap Sumarman, Rabu (2/10/2024).

Kondisi lahan, kata dia, bisa diketahui dengan menggunakan sejumlah indikator seperti tutupan lahan, kemiringan, serta cara pengolahan lahan.

Keberadaan DAS Poboya penting tidak hanya bagi warga sekitar namun juga bagi Kota Palu karena menjadi sumber air untuk pertanian, perkebunan, bahkan jadi patameter kualitas lingkungan hidup.

Pertambangan emas termasuk dilakukan secara ilegal mengubah bentang alam dan merusak ekosistem sekitarnya. Selain debit air yang susut, pepohonan besar tak lagi mendominasi dan berganti padang dan tanaman perdu.

Kini di musim kemarau lebar aliran DAS Poboya tampak hanya selebar sekitar 40 meter, selebihnya adalah kerikil.

Penggunaan bahan kimia untuk PETI di sekitar sungai juga mengancam DAS tersebut, bahkan hingga ke Teluk Palu.

“DAS Poboya adalah DAS yang langsung mengarah ke laut makanya berbahaya kalau tidak dijaga,” kata Sumarman.

Kandungan bahan kimia sekitar DAS Poboya patut menjadi kekhawatiran. Penelitian tiga mahasiswa Universitas Tadulako (Untad) Palu, Muh Rahmat Fadillah, Isrun, dan Sri Wahidah Prahastuti yang dipublikasikan Agustus 2023 menemukan paparan bahan kimia pada tanah Poboya, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu.

Di dalam tanah sekitar area pengolahan emas di Lagarutu, Kelurahan Poboya, tiga mahasiswa itu menemukan kandungan bahan kimia jenis merkuri berkisar 0,0068-0,0305 ppm.

Ironisnya kerusakan lingkungan yang masih terjadi itu seturut dengan aktivitas PETI yang masih terjadi.

Data yang dihimpun menyebutkan, selain Poboya, PETI juga merambah kawasan Kelurahan Tondo.

Di dua lokasi itu setidaknya 10,5 hektare lahan telah menjadi area PETI dengan lubang-lubang yang menganga. Titik PETI itu di antaranya di bekas tambang lama seluas 1,5 hektar, Kijang 30, Vatutela, dan Vavolapo yang masing-masing seluas 3 hektar.

Poboya sendiri menjadi daerah dengan jumlah PETI terbanyak bahkan hingga di dalam kawasan konsesi PT CPM.

“Pertanyaan, apakah hukum tak berdaya menghadapi mafia tambang, atau ada keterlibatan oknum aparat dalam membiarkan aktivitas ini berlangsung sehingga pemodal besar tetap aman,” kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Sulteng, Taufik. *

*Tulisan ini Bagian dari Program Kolaborasi Liputan Jurnalis Kota Palu yang Tergabung dalam Komunitas Roemah Jurnalis