OLEH: Basrin Ombo*

Seorang lelaki berkata kepada seorang syekh, “Dulu, sebelum menikah aku melihat istriku begitu indah, tiada duanya di dunia ini. Ketika aku melamarnya, ternyata ada banyak wanita yang seindah dia. Ketika aku menikahinya, aku mulai merasa bahwa ada banyak wanita yang lebih cantik darinya. Sekarang, setelah hampir sepuluh tahun kami menikah, aku merasa bahwa semua wanita lebih menarik daripada istriku.”

Syekh itu menjawab “Apakah engkau tahu, ada yang jauh lebih parah dari yang kau alami saat ini?”Tidak”, jawab lelaki tersebut.

Kemudian syekh berkata: “Seandainya engkau menikahi seluruh wanita di dunia tanpa terkecuali, maka engkau akan merasa bahwa anjing-anjing yang berkeliaran di jalan jauh lebih menarik bagimu daripada wanita manapun. Masalah sesungguhnya bukan terletak pada istrimu, tapi terletak pada hati rakusmu dan mata keranjangmu. Mata manusia tidak akan pernah puas, kecuali jika sudah tertutup tanah.”

Lalu Syekh itu bertanya, “Apakah engkau ingin istrimu kembali seperti dulu, menjadi wanita terindah di dunia ini?”

“Iya syekh,” jawab lelaki itu dengan perasaan tak menentu.

Syekh kemudian berkata lagi: “Pejamkanlah matamu dari hal-hal yang haram. Ketahuilah, orang yang merasa cukup dengan suatu yang halal, maka dia akan diberi kenikmatan yang sempurna di dalam barang halal tersebut.”

Kisah di atas adalah gambaran kehidupan masa kini (tanpa bermaksud mengeneralisir),dimana seseorang dengan mudahnya berpaling dari pasangannya dengan berbagai dalih. Mungkin kata yang tepat untuk kasus ini adalah selingkuh atau hidup mendua, yakni perbuatan yang ingin menjalin hubungan kepada selain dari pasangan sahnya.

Dalam dunia modern saat ini, dimana era keterbukaan informasi dan teknologi semakin mengglobal, selingkuh tidak lagi dilakukan antar tetangga, bahkan sudah antar negara.

Lalu apa penyebab terjadinya masalah ini? Dalam sebuah artikel disebutkan, setidaknya ada tiga penyebab terjadinya perselingkuhan, yakni 3S (Saling ketertarikan, Saling ketergantungan dan Saling memenuhi secara emosional dan seksual).

Di dunia maya misalnya, dimulai dari mengintip status, lalu like seterusnya sampai pada kirim gambar/ foto. Ini dilakukan secara terus menerus sampai melahirkan ketergantungan, rasanya hidup ini sunyi tanpa melihat status darinya, sampai pada puncaknya adalah meninggalkan pasangan sahnya hanya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing baik secara emosional bahkan sampai secara seksual.

Bagaimana Islam menyikapi permasalahan ini? Dalam Islam, sudah pasti hal ini adalah perilaku yang haram dilakukan bahkan bisa disebut dengan perilaku yang khianat. Orang-orang berkhianat tentu orang yang melanggar janjinya, tidak sesuai dengan apa yang dikatakannya, bahkan ia mengecewakan atau merugikan orang lain.

Perilaku seperti ini dibenci oleh Allah swt. dan berdosa ketika melakukannya. Islam mengajarkan bahwa suami istri itu masing-masing adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah swt.

Perselingkuhan sama dengan perzinahan yang sangat jelas hukumnya adalah haram, walaupun dalam Islam tidak  dikenal istilah perselingkuhan (mungkin istilah ini bisa diqiyaskan dengan “qadzaf”  yang berarti menuduh berbuat zina).

Alquran sudah menjelaskan:“Wala taqrabuw az-zinaa  innahuu kaana faahisyataan wa saa’a sabiilaa” artinya:“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk”. (QS. Al-Isra ayat 32).

Dalam tafsir Al-Mukhtashar dijelaskan: “Dan janganlah kalian mendekati perzinahan dan segala pemicunya (mungkin yang dimaksud upaya perselingkuhan) supaya tidak terjerumus ke dalamnya. Sesungguhnya zina itu  benar-benar amat buruk, dan seburuk-buruk tindakan adalah perzinahan”.

Dalam tafsir lain disebutkan dan seburuk-buruk jalan adalah jalan yang mengantarkan kepada perzinahan (sekali lagi mungkin yang dimaksud upaya perselingkuhan) 

Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa salah satu ciri-ciri orang yang beriman dan bahkan Allah menghadiahinya dengan sebuah keberuntungan adalah sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Mu’minun ayat 5 dan 6: Walladziina hum lifuruujihim haafidzuun, illa ‘alaa azwaajihim aumaa malakat aimaanuhum fa innahum ghairu maluumiin” yang artinya“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki,  maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela”.

Ayat ini memberi pesan moral kepada kita bahwa menjaga kemaluan/ kehormatan diri dari perkara yang diharamkan oleh Allah, seperti perbuatan zina, homoseks, dan seluruh perbuatan keji lainnya yang mendekati atau bahkan melakukan penyimpangan terhadap keharmonisan rumah tangga merupakan tanda-tanda keimanan seseorang sekaligus mengajak kepada kita untuk menghargai kehahalan yang sudah diberikan melalui pasangan masing-masing.

Puasa ini mengajarkan kepada kita untuk mampu menahan diri dari seluruh perbuatan munkar, mendorong pelakunya ke jalan yang diridhai dengan cara menjaga amanah, apapun amanah itu, terlebih lagi amanah yang sudah dititipakan Allah swt. kepada kita yaitu pasangan hidup…Wallahul ‘a’lam bishawwab

*Kepala KUA Kecamatan Lage, Kabupaten Poso