PALU – Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI mencatat sebanyak 1974 perkara kode etik penyelenggara pemilu yang teregistrasi dengan jumlah teradu sebanyak 7954, dalam kurun waktu 2012 sampai 2022.
Dari total perkara kode etik tersebut, 695 teradu telah mendapatkan sanksi pemberhentian tetap oleh DKPP.
Dalam perkara kode etik ini, prinsip profesional paling banyak dilanggar oleh penyelenggara pemilu, disusul pelanggaran hukum atau tidak berkepastian hukum dan prinsip mandiri
Khusus wilayah Sulteng sendiri, sepanjang 12 Juni 2012 sampai 23 Januari 2023, sebanyak 274 penyelenggara pemilu dihadapkan dalam persidangan kode etik DKPP.
“Dari total perkara tersebut, 25 penyelenggara pemilu diberhentikan tetap. Terkahir kasus penyelenggara yang dari Parigi Moutong,” ungkap Anggota DKPP RI, Dr Ratna Dewi Pettalolo, saat menjadi narasumber Sosialisasi Pengawasan Pemilu Partisipatif, IKP, Potensi Netralitas Penyelenggara Pemilu Tahun 2024, di salah satu hotel, di Kota Palu, Rabu (25/01).
Ia menambahkan, dari total 274 perkara yang masuk, 75 teradu di antaranya diberi sanksi teguran tertulis dan 162 orang direhabilitasi.
“Sulteng memang masuk pada posisi yang rawan terkait dengan pelanggaran etik penyelenggara pemilu. Ini yang harus diwaspadai atau diantisipasi sejak saat ini,” katanya.
Ia menyatakan, DKPP sendiri tidak hanya memeriksa pelanggaran tahapan, tapi juga non tahapan, yaitu terkait perbuatan asusila, perjudian, kekerasan, dan bisnis investasi bodong.
Mantan Anggota Bawaslu RI itu juga membeberkan lima modus pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP), yakni kategoriDestroying Neutrality, Impartiality, and Independent.
“Ini terkait bagaimana penyelenggara menghancurkan atau menganggu atau memengaruhi netralitas, imparsialitas dan kemandirian,” ungkapnya.
Selanjutnya kategori Vote Manipulation, yaitu mengurangi, menambahkan, atau memindahkan perolehan suara dari satu peserta Pemilu ke peserta Pemilu lainnya. The Fraud of Voting Day, yakni kesalahan-kesalahan yang dilakukan penyelenggara Pemilu pada hari pemungutan dan penghitungan suara.
Kemudian Sloppy Work of Election Process,berupa ketidakcermatan atau ketidaktepatan atau ketidakteraturan atau kesalahan dalam proses Pemilu dan Abuse of Power.
“Ini memanfaatkan posisi jabatan dan pengaruh-pengaruhnya, baik atas dasar kekeluargaan, kekerabatan, otoritas tradisional atau pekerjaan untuk memengaruhi pemilih lain atau penyelenggara Pemilu demi mendapatkan keuntungan-keuntungan pribadi,” kata Dewi.
Dari kasus-kasus yang menjerat penyelenggara pemilu tersebut, lanjut dia, maka beberapa antisipasi perlu dilakukan sejak dini, antara lain seleksi penyelenggara pemilu dengan standar yang objektif dengan kompetensi yang mumpuni, bimbingan teknis yang komprehensif dan merata untuk peningkatan kapasitas penyelenggara.
“Sementara untuk langkah antisipasi di tingkat lokal dapat dilakukan dengan mengembangkan pengawasan berbasis teknologi serta merekrut pengawas yang ‘melek’ teknologi,” pungkasnya. (RIFAY)