Dunia adalah negeri ujian. Allah Azza wa Jalla menghendaki keadaan manusia berbeda-beda sebagai ujian. Ada orang Mukmin dan kafir, orang sehat dan sakit, orang kaya dan miskin, dan seterusnya.
Makna semua ini, bahwa seseorang itu diuji dengan orang yang tidak seperti dia.
Seorang yang kaya contohnya, dia diuji dengan keberadaan orang miskin. Sepantasnya orang kaya tersebut membantunya dan tidak menghinanya.
Sebaliknya, si miskin juga diuji dengan keberadaan si kaya. Sepantasnya dia tidak hasad terhadap si kaya dan tidak mengambil hartanya dengan tanpa hak. Dan masing-masing berkewajiban meniti jalan kebenaran.
Dalam masa-masa sulit terkadang kita membutuhkan sebuah nasihat. Nasihat dari orang-orang terbaik yang pernah merasakan banyak kesulitan lantas berakhir dalam kegemilangan.
Marilah kita tengok sebuah nasihat dalam menapaki kesulitan hidup dari Rasulullah SAW. Adalah Abu Amrah Sufyan bin Abdullah RA. Sosok sahabat yang tak banyak dikenal dalam kitab-kitab. Namanya asing dalam mata pelajaran agama di sekolah-sekolah yang hanya dua jam sepekan
Tapi, Abu Amrah adalah cahaya yang memancarkan sinar lebih terang lagi. Dia adalah sosok sahabat yang cerdas. Suatu ketika ia bertanya kepada Nabi SAW. “Ya Rasulullah,” ucapnya memulai perkataan, “Ajarkan padaku suatu perkara dalam agama Islam yang aku tidak akan bertanya kepada selain engkau.”
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini, Abu Amrah tak sekadar bertanya untuk dirinya. Ia juga tak bertanya pertanyaan sepele. Ia ingin jawaban yang keluar dari baginda Nabi SAW adalah jawaban nan agung. Maka, ia menambahi lagi, “Suatu perkara dalam agama Islam yang aku tidak akan bertanya kepada selain engkau.”
Sungguh bertanya jawaban yang hanya Rasulullah SAW pahami adalah sebuah ilmu yang tak ternilai. Jawabannya pastilah kalimat sarat makna dan ilmu. Inilah dia jawaban yang Abu Amrah tidak akan pernah bertanya kepada selain Nabi SAW. “Katakanlah, ‘Aku beriman kepada Allah’, kemudian istiqamahlah.”
Karena itu kita tak boleh berprasangka buruk kepada Allah Ta’ala namun hendaklah setiap hamba berhusnu-zhan (berprasangka baik) atas musibah dan kesusahan yang menimpanya. Karena sesungguhnya keimanan dan tauhid seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan husnu-zhan kepada Allah Azza wa Jalla.
Maka janganlah engkau menyangka bahwa jika Allah Azza wa Jalla melakukan sesuatu di alam ini, adalah karena kehendak-Nya yang buruk. Termasuk kejadian-kejadian dan musibah-musibah yang ada, Allah Azza wa Jalla tidak mengadakannya karena kehendak buruk yang berkaitan dengan perbuatan-Nya.
Adapun yang berkaitan dengan makhluk, bahwa Allah Azza wa Jalla menetapkan apa yang Dia kehendaki, itu terkadang menyusahkannya, maka ini seperti firman Allah Azza wa Jalla: Katakanlah: “Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah, jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?” [al-Ahzâb/33:17][1]
Kemudian senjata hamba di dalam menghadapi kesusahan dalah kesabaran. Sabar adalah sifat yang agung. Sabar menghadapi kesusahan adalah menahan jiwa dari berkeluh-kesah, menahan lisan dari mengadu kepada manusia, dan menahan anggota badan dari perkara yang menyelisihi syari’at. Bagi seorang Mukmin sabar merupakan senjatanya untuk menghadapi kesusahan.
Dan hal itu akan membuahkan kebaikan baginya. Demikianlah semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam
DARLIS MUHAMMAD (REDAKTUR SENIOR MEDIA ALKHAIRAAT)