Terdakwa Korupsi Ungkap Aliran Dana untuk Bayar THR

oleh -
JPU Ariati dan Salma Toampo saat memperlihatakan dokumen pada majelis hakim Pengadilan Tipikor, PN Palu, Selasa (30.05). (FOTO: MAL/IKRAM)

PALU – Pengadilan Tipikor, Pengadilan Negeri (PN) Palu, Selasa (30/05) menggelar sudang lanjutan dugaan korupsi dengan terdakwa Bendahara Pengeluaran pada Satuan Kerja (Satker) Bidang Teknologi Informasi (TI) Polda Sulteng, I Putu Dedi Artono.

Pada kesempatan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan sejumlah saksi, salah satunya adalah Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar (PPSPM).

Dalam kesaksiannya, Suwoto mengaku tidak pernah mendandatangani 13 Surat Perintah Membayar (SPM) yang diajukan ke KPPN.

Saat diperlihatkan bukti dokumen dan diminta untuk mencocokkan tanda tangan, Suwoto semakin yakin bahwa tanda tangannya dipalsukan.

“Jadi bukan tanda tangan saya, jelas ada yang memalsukan karena ada perbedaan dengan dokumen yang diperlihatkan,” kata Suwoto kepada majelis hakim yang dipimpin Djamaluddin Ismail.

Meski demikian, Suwoto mengaku telah memberitahukan PIN dari KPPN kepada salah satu staf bidang TI yang saat ini telah dimutasi ke Polres Poso.

Saat dikonfrontir, terdakwa I Putu Dedi Artono menyatakan bahwa sebagian SPM ditandatangani oleh Suwoto. Hanya saja, saat perbaikan SPM, dirinya tidak lagi meminta tanda tangan dari Suwoto, tapi memalsukan tanda tangannya.

“Tapi bagaimanapun kalau tanpa PIN, maka dana tidak bisa cair,” katanya.

Dia juga mengungkapkan bahwa sebagian dana dugaan korupsi yang disangkakan kepadanya, disalurkan sebagai bingkisan Tunjangan Hari Raya (THR) untuk 23 personil di Bidang TI, memberikan amplop pada tamu yang datang dan mengajak makan di restoran.

“Dana-dana itulah yang disangkakan kepada saya,” ungkap Putu.

Diwartakan sebelumnya, I Putu Dedi Artono, didakwa melakukan korupsi senilai Rp589 juta pada program peningkatan sarana dan prasarana aparatur Polri tahun 2016.

Kala itu, Satker Bidang TI Polda Sulteng mendapat anggaran sebesar Rp720 juta, terdiri dari perawatan kendaraan roda empat senilai Rp100 juta dan roda dua Rp21 juta, perbaikan peralatan perkantoran Rp2 juta dan perawatan fungsional Rp616 juta.

Terdakwa pun mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Uang Persedian (SPP-UP) dan Surat Perintah Membayar Uang Persedian (SPM-UP) sebesar Rp80 juta ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Palu.

Setelah UP habis, terdakwa melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Rusdin Mustafa mengajukan Surat Permintaan Pembayaran Ganti Uang Persedian (SPP-GUP) ke KKPN Palu melalui Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Membayar (PPSPM), Suwoto.

Kemudian, terdakwa memerintahkan Irsan dan Puspa Adhe Putri untuk membuat pertanggung jawaban fiktif dan memasukan data palsu pada aplikasi SMAP online Polri.

Perbuatan terdakwa terungkap ketika Tim Itwasda Polda Sulteng melakukan pemeriksaan dan pengawasan tahap II. Tim menemukan dana yang telah dicairkan sebesar Rp709 juta, namun hanya bisa dipertanggung jawabkan sebesar Rp164 juta.

“Tersisa Rp545 juta tidak bisa dipertanggung jawabkan,” tutur Ariati.

Berdasarkan perhitungan BPKP Sulteng, negara mengalami kerugian Rp589 juta, masing-masing pertanggung jawaban penggunaan yang ada sebesar Rp230 juta, nilai penggunaan anggaran tidak dijumpai Rp489 juta serta nilai pertanggung jawaban fiktif Rp100 juta.  (IKRAM)