Setara Institute Kecam Lembaga Survei Rusak Demokrasi

oleh -

JAKARTA – Setara Institute, lembaga survei ternama, mengeluarkan pernyataan yang mengecam penggunaan survei dalam konteks politik yang dianggap merusak demokrasi. Dalam rilis terbarunya, Setara Institute menyatakan keprihatinan terhadap hasil survei terkini yang dianggap tidak masuk akal, mempertanyakan posisi lembaga survei apakah juga berfungsi sebagai konsultan politik atau agitator yang menggiring opini.

“Hari-hari ini publik disuguhi hasil survei tentang elektabilitas capres dan cawapres yang semakin tidak masuk akal. Kita tidak pernah mengetahui posisi lembaga survei, apakah juga merangkap sebagai konsultan politik, juru kampanye yang berlindung di balik kebebasan akademik survei, atau agitator yang ditugasi untuk menggiring opini tentang hal-hal yang dikehendaki oleh pihak yang menugasi,” tulis Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Ismail Hasani, yang diterima Media Alkhairaat Online, Selasa (21/11) .

Lembaga survei dianggap sebagai instrumen pengetahuan yang telah lama menjadi bagian integral dari negara demokratis, termasuk Indonesia. Namun, Setara Institute menyoroti risiko ketidakjelasan posisi lembaga survei yang dapat merusak demokrasi. Mereka menyayangkan adanya survei yang mempromosikan materi yang bertentangan dengan Konstitusi RI, seperti survei jabatan tiga periode dan afirmasi terhadap politik dinasti yang dianggap merusak demokrasi.

“Kita menyayangkan materi-materi yang seharusnya tidak dipromosikan karena bertentangan dengan Konstitusi RI, seperti survei jabatan tiga periode di tahun lalu, survei afirmasi atas politik dinasti yang merusak demokrasi, survei afirmasi putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MKMK, dan lainnya. Di tengah keterbatasan pengetahuan publik atas term-term tersebut, pengambilan sampel secara acak, hanya akan menghasilkan afirmasi atas berbagai kehendak-kehendak inkonstitusional, niretika dan merusak demokrasi,” tambahnya.

Dalam konteks Pilpres, Setara Institute menyoroti agitasi agenda satu putaran oleh kandidat yang didukung oleh survei. Mereka menilai ada dua tujuan tidak etis dari agenda ini, yakni menciptakan efek bandwagon agar pemilih mengikuti mayoritas dan menyediakan justifikasi akademik-populis atas kemungkinan tindakan tidak jujur dalam kontestasi politik.

Sementara kampanye pemilu damai terus ditekankan, akan tetapi Setara Institute  prihatin, hal itu itu ditunjukkan dengan nada suara yang menakutkan dan upaya untuk menekan kritik terhadap kandidat. Mereka mempertanyakan tujuan sebenarnya dari situasi damai dan teduh yang disuarakan, sambil menekankan bahwa kritik terhadap kandidat seharusnya bukanlah penyebab kerusuhan.

Ismail yang juga Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dalam pernyataannya, menyerukan agar lembaga survei mengembalikan posisinya sebagai instrumen demokrasi yang berfungsi untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Setara Institute juga mendukung netralitas yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan.

Dengan kegelisahan publik yang terus meningkat, Setara Institute memperingatkan bahwa teror terhadap demokrasi dan kebebasan sipil dapat semakin intensif jika tidak ada langkah konkret untuk mengatasi benturan kepentingan antara penguasa dan kandidat. Transformasi destruktif ini diyakini akan terus mewarnai Pilpres dan Pemilu 2024.

“Setara Institute, sebagai salah satu lembaga yang juga sering melakukan survei, mengetuk hati para kolega untuk mengembalikan posisi survei sebagaimana tujuan asalnya. Bukan hanya standar etik yang dipedomani tetapi juga ada nilai kebajikan yang dipromosikan. Demi keadilan Pemilu, Setara Institute juga mendorong netralitas genuine yang didukung oleh sistem, standar operasi, dan penyikapan atas dugaan pelanggaran alat-alat negara secara transparan dan berkeadilan. Langkah ini akan efektif hanya jika dimulai dari Presiden Jokowi,” tekannya.

Reporter: IKRAM
Editor: NANANG