Rangkaian Historis Ekonomi Politik di Balik Konflik Amerika Serikat-Israel-Iran

oleh -
Ilustrasi. (media.alkhairaat.id)

OLEH : Moh. Ahlis Djirimu*

Di Tahun 2020, catatan internasional didominasi oleh pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani. Peristiwa ini sebenarnya erat kaitannya dengan dampak sebar (spread effect) ‘Arab Spring’ setelah Tunisia, Mesir, Libya, Suriah, Yaman. Paling aktual adalah mundurnya Abdel Azis Buteflika setelah hampir 30 tahun berkuasa di Aljazair. Apa kaitannya?

Arab spring umumnya terjadi pada negara-negara yang secara politik sangat anti demokrasi. Logika mana yang dapat menerima seorang pedagang asongan bunuh diri, Mohammed Bouazizi dapat menimbulkan keruntuhan rezim Ben Ali dan istrinya Leila Trabelsi di Tunisia? Lalu menimbulkan efek rambatan ke Mesir, meruntuhkan rezim Hosni Mubaraq, mengganggu Bachir El-Assad di Suriah, menjatuhkan Moammar Qadhafi di Libya?

Efek rambatan “Arab Spring” dapat saja berlanjut pada pada anggota enam negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (Gulf Cooperation Council) lain umumnya monarki absolut seperti Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Oman, Kuwait, Uni Emirates Arab.

Tentu negara-negara berbasis monarki ini merasa terancam. Namun, pandangan ini jauh dari kenyataan karena penduduk negara mana yang mau merongrong pemerintahannya di saat rakyatnya sejahtera.

Apa yang terjadi di Timur Tengah sebenarnya merupakan pertama, rebutan hegemoni Amerika dan Tiongkok di satu sisi dan kedua, keinginan untuk menyelesaikan sendiri friksi Arab Saudi-Iran sebagai kutub ekonomi politik di sisi lain.

Hegemoni tunggal AS semenjak krisis teluk I pada 1990 dan krisis teluk II pada 2003 terus berlangsung. Semenjak Sino-Africano Summit di Sharm-El Sheikh, di pesisir Laut Merah dan Semenajung Sinai, Mesir pada 2009, kiblat ekonomi tidak lagi semata-mata ke Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS), tetapi bertambah ke Tiongkok.

Demikian pula negara-negara Arab di Timur Tengah, tidak lagi tergantung semata-mata perekonomiannya pada AS, tetapi membangun pula poros ekonomi dengan Tiongkok. Hegemoni bagaikan piala bergilir.

Inggris memulainya selama 150 tahun, lalu diambil alih oleh AS hingga saat ini. Jepang dan Jerman mencoba mengambil alihnya pada Perang Dunia II, tetapi gagal. Hegemoni AS di Timur Tengah sangat dominan.

Di Irak (di Asad-Provinsi Anbar), militer Amerika masih bercokol. Di Qatar (di Al Udeid) dan Uni Emirates Arab sejak lama menjadi home base militer Amerika dan Prancis jika sewaktu-waktu tetangga sebrang lautan di Teluk Persia, Iran mengganggunya. Padahal, Dubai di masa lalu dibangun oleh para pedagang asal Iran. Inilah makna historis yang sering terlupakan dalam peradaban suatu bangsa.

Melalui Central Asian Regional Economic Cooperation (CAREC), Tiongkok bersama negara-negara Asia Tengah melakukan kerjasama regional membangun jalur sutra di masa lalu yang dapat menghubungkan Tiongkok ke Asia Tengah hingga Asia Barat melalui ide Chinese Belt Road Initiative (CBRI) hingga ke kawasan Timur Tengah.

Tentu, dengan terbangunnya kerjasama sesama negara Asia ini dengan figur tunggalnya adalah Tiongkok, akan mengancam Hegemoni geopolitik AS di Asia, Timur Tengah, yang bukan tidak mungkin mempererat kerjasama dengan Rusia di utara sehingga menyatukan kerjasama CAREC dalam Super Eurasia.

Selain itu, masalah sesama dengan Arab Saudi-Iran mencoba diatasi oleh sesama negara Arab Saudi-Iran sendiri yang menurut rencana difasilitasi rembug Arab Saudi-Iran oleh Perdana Menteri Irak, Adil Abdul Mahdi di Irak.

Tentu saja AS dan Israel tidak ingin ada jalan menuju “kemesraan” Arab Saudi-Iran terjadi karena akan merongrong hegemoninya di Timur Tengah termasuk pasar senjatanya. 

Kedua, alasan petrodolar dan keistimewaan dolar. Baik minyak bumi maupun gas masing-masing bercabang dua yakni Arabian Light produksi OPEC dan Brent produksi non-OPEC bagi minyak mentah, serta LNG dan LPG bagi gas. Harga gas selalu mengikuti harga minyak mentah. Perdagangan keduanya dilakukan berjangka. Maksudnya, kontrak transaksi jual beli hari ini, pengiriman nanti 1-3 bulan yang akan datang.

Pada sisi ekonomi inilah, Arab Saudi sebagai produsen minyak nomor 2 di dunia setelah Venezuela, tentu tidak ingin sangat tergantung pada satu pasar tunggal Amerika. Oleh karena itu, Arab Saudi mengekspor minyak mentahnya juga ke Tiongkok. AS bukannya tidak punya cadangan minyak mentah. Mereka punya di Alaska yang dicadangkan selama seabad yang akan datang.

Kerja sama jual beli minyak ini dapat dilakukan melalui jalur kerjasama korporasi Aramco Arab Saudi dengan mitra kerjanya milik Tiongkok entah China National Oil Offshore Company (CNOOC), atau Sinopec, atau PetroChina.

Bila kerja sama ini terjalin kuat, maka Chevron, Exxon Mobile Oil Company akan gigit jari. Tentu saja Pemerintah AS akan menggunakan segala cara agar maksud terpenuhi seperti yang pernah mereka lakukan di Kazakhstan, menyuap orang-orang di sekeliling Presiden Nur Sultan Nazarbayev. Apalagi kedekatan korporasi Tiongkok di atas juga terjadi di Venezuela dan Petrobraz.

Alasan ekonomi lain adalah hegemoni dolar. Sebagai mata uang istimewa, dolar berlaku di mana saja. Sejarah membuktikan bahwa US$700,- miliar dikeluarkan Bush Junior dalam pengejaran Osama Ben Laden, Perang Afghanistan, Perang Irak II oleh George Walker Bush, seharus AS bangkrut.

AS tidak bangkrut karena pemerintahnya dominan berhutang pada rakyatnya sendiri melalui penjual Treasury Bills dan dolar sebagai mata uang istimewa dunia.

Masuknya Yuan atau Renmimbi selain Dinar, Euro, Yen sebagai mata uang internasional menjadi pesaing baru bagi dolar. AS pasti akan terusik. Baik hegemoni geopolitik maupun hegemoni ekonomi inilah yang membuat Presiden Trump harus memutus mata rantai jelang jalan ‘kemesraan’ Arab-Iran tercipta sehingga dapat meredakan ketegangan di Timur Tengah.

Inilah kemungkinan alasan logis mengapa AS ‘mendelete’ Mayor Jenderal Suleimani agar ketegangan di Timur Tengah tidak mereda, dan senjatanya laku keras hanya untuk menciptakan kelanggengan ketegangan jauh dari kesan dikotomi Suni-Syiah.

Pada 1 April 2024 yang lalu, Israil mendeleted Jendaral Muhammad Reza Zahedi dan enam Jenderal Garda Republik Islam Iran lainnya dengan melanggar perjanjian internasional yakni mengebom Kantor Konsulat Iran di Damascus. Tindakan ini boleh jadi hasil kompromi Amerika-Israel melalui tangan Israil agar Iran-Arab Saudi tetap berseteru.

Akibatnya, Arab Saudi menangguhkan hubungan diplomatiknya dengan Israil. Pemerintahan Joe Biden buru-buru meminta Iran agar tidak menyerang fasilitas militernya di Israil. Tentu permintaan yang tidak dijamin Iran.  

AS tidak membalas serangan Iran ke pangkalan militernya di Irak di Tahun 2020. Alasan menghukum Iran melalui senjata ekonomi di masa pemerintahan Trump sepertinya akan gagal karena harga patokan minyak bumi di West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Februari 2020 naik US$1,87,- menjadi US$63,05,- per barel sedangkan di New York Mercantile Exchange harganya mencapai US$64,09,-. Sedangkan harga Brent bagi pengiriman Maret 2020 meningkat US$2,35,- mencapai US$68,60,-. Maksud hati Trump memercik air, terpancar ke wajah sendiri.

Lalu kesabaran Iran sepertinya habis. Pengerahan peluru kendali yang dapat dipasang hulu ledak nuklir Sejjil, Kheibar, Emad, Shabab-3, Ghadr, Paveh, Fattah-2, Kheibar Shekan, Haj Qasem yang daya jangkauan secara berurutan dari 2500 km sampai dengan 1.400 km atas peluru kendali di atas, merupakan awal dari perang Timur Tengah, yang telah dimulai dengan Proxywar di Libanon Selatan, Irak dan Hybridwar akan menjadi perang terbuka.

Akankah Perang Yom-Kippur seri 2 dimenangkan oleh Israil? Belum tentu, karena haluan pemerintahan AS-Inggris dan Prancis berbeda kali ini. Dampak kenaikan ekonomi harga minyak mentah semakin terasa hingga ke negara kita.

*Penulis adalah Anggota Middle East Economist Association