PALU – Omnibus Law saat ini menjadi isu sangat sentral dibahas semua kalangan baik praktisi hukum maupun aktivis. Seharusnya bisa menjadi solusi dari semrawutnya peraturan perundang-undangan tumpang tindih, justru aturan ini dianggap melucuti perlindungan terhadap pekerja.
“Dalam draf omnibus law semua ketentuan perlindungan terhadap pekerja tersebut dilucuti,” demikian dipaparkan Mantan Aktivis Buruh Rasyidi Bakri saat menjadi pembicara dalam diskusi dengan tema ” Omnibus Law : Undang-undang Cipta Lapangan kerja di Kantor Yayasan Tanah Merdeka, dihadiri mahasiswa serta ormas Jalan Tg. Manimbaya Kota Palu, Rabu (19/2).
Rasyid mengatakan, mulai dari pesangon sampai upah minimum provinsi (UMP).
“Lebih konyol semua ancaman pidana dalam undang-undang tenaga kerja, misalnya memberi ancaman kepada pengusaha bila tidak memberi upah semua diubah menjadi urusan privat antara pekerja dengan pengusaha,” kata Rasyidi juga merupakan advokat.
Menurutnya, dampak bila Omnibus Law hanya akan menjadi bencana bagi kaum pekerja. Sebab dengan tingkat pengangguran sangat tinggi ini, maka pasar tenaga kerja sangat murah.
“Posisi tawar pekerja murah di hadapan pengusaha. Bahkan draf dalam undang-undang ini memberi peluang pengusaha membawa pekerja lebih leluasa,” ujarnya.
Dia menilai bila memang hal ini terjadi maka, pemerintah dianggap menganut liberal dalam ekonomi. “Kalau hal ini terjadi benar-benar pemerintahan Jokowi ini menjadi pembela neoliberalisme sangat militan,” ujarnya.
Sementara pembicara lainya Advokat Buruh Adi Prianto mengatakan, Omnibus Law ini dalam teori hukum menguntungkan siapa dan menyengsarakan siapa. Dalam teori hukum dinamakan legal marxisme. Negara marxisme menjelaskan, negara dikuasai oleh satu kelompok maka keluaran produk undang-undang tersebut mewakili kepentingan dari kelompok tersebut.
Dalam draft Rancangan Undang-undang Omnibus Law ini disandingkan dengan Undang-Undang nomor 23 tentang Tenaga Kerja, terdapat banyak pasal yang dihilangkan atau ditambah, baik soal tenaga kerja, upah maupun kesejahteraan.
Bahkan upah bulananya dihilangkan dengan dihitung upah perjam. “Tidak ada kata lain di Omnibus law harus ditolak,” ujarnya.
Sementara akademis Arianto Sangadji mengatakan, Omnibus Law ini mempercepat proses perampasan terhadap hak atas tanah masyarakat, dan investasi sebesar besarnya yang akan berdampak bagi ekonomi. Namun berdampak buruk pula pada kerusakan lingkungan pencemaran dan lainnya.
“Dalam pemerintahan Jokowi sangat jelas terlihat representatif kepada neoliberalisme,” ujarnya. (Ikram)