Masjid Raya Donggala: Simbol Religius dan Warisan Sejarah di Kota Tua

oleh -
Masjid Raya Donggala

DONGGALA – Masjid Raya Donggala, yang terletak di tengah ibu kota Kabupaten Donggala, Desa Banawa telah menjadi simbol religius masyarakat setempat selama berabad-abad tahun lamanya.

Masjid ini sudah ada sejak abad ke-19, didirikan para saudagar, tokoh-tokoh agama dan bangsawan setempat. Memang, saat ini bentuknya tidak lagi sama seperti aslinya karena sudah mengalami renovasi pada Tahun 1960 sampai1970-an silam. Semula bentuk bangunan sangat sederhana, beratap sirap dan ukurannya kecil.

Semasa hidupnya,  Imam Masjid Raya Donggala, KH. Ali Umar (alm) pernah mengisahkan, bahwa awalnya masjid hanya terbuat dari papan kayu dengan atap rumbia. Tetapi saat itu sudah berlantai marmer dan terlihat cukup mewah.

H. Rony Djalaluddin, Penasehat Masjid Raya, mengungkapkan bahwa masjid ini bukan hanya pusat ibadah, tetapi juga menjadi bagian integral dari sejarah panjang Kota Donggala.

Kata dia, renovasi masjid dilakukan atas swadaya jamaahnya. Anak-anak sekolah, ABRI/Polri, hingga buruh pelabuhan ikut memberi infaq dan sumbangsinya. Kala itu ada yang hanya membawa pasir memakai ember, hingga material.

Sebagai wujud apresiasi, dalam berita surat kabar Sulteng Post, edisi 10 Januari 1970 menyebutkan; Oleh Panitia Pembangunan Masjid Raya Donggala yang diawali oleh Daud Ladudin dan Sjukri Main tanggal 30 Desember yang lalu telah diserahkan Surat Penghargaan dari Panitia Pembangunan Masjid Raya Donggala kepada AKBP. Moljono Dan Res Polri 1907 Donggala atas bantuan dan mission Bimas Polri di Donggala terhadap usaha-usaha Pembangunan Masjid Raya.

“Ketika itu tokoh-tokoh masyarakat dari kalangan pegawai, politisi, pengusaha, polisi, guru-guru dan buruh-buruh pelabuhan hingga anak-anak sekolah ikut membangun Masjid Raya. Bukan hanya menyumbangkan uang tapi juga tenaga dengan membawa batu-batu, pasir dan berbagai material demi terwujudnya sebuah masjid kebanggaan masyarakat. Masa itu masjid dibangun atas partisipasi seluruh lapisan masyarakat tanpa berharap bantuan pemerintah,” cerita Ronny Djalaluddin pada penulis beberapa waktu lalu.

Di halaman belakang Masjid Raya terdapat makam Haji Muhammad Saleh Pettalolo dan Haji Amir Pettalolo. Keduanya memiliki andil dalam pembangunan masjid pada masa awal, sehingga kelak dimakamkan di belakang masjid.

Tokoh ini pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 adalah saudagar kaya yang melakukan perniagaan ke berbagai kota di nusantara, termasuk Singapura dan Tawau.

Kuatnya pengaruh dan jaringan yang dimilikinya, membuat pemerintah Hindia Belanda memberi kepercayaan dan kedudukan pengamanan Selat Makassar dan Teluk Palu untuk menghalau bajak laut.

Di Kota Donggala pernah pula memiliki masjid terapung dan cukup lama difungsikan. Masjid itu terletak di tepi pantai Kelurahan Labuan Bajo, namanya At-Taqwa atau populer sebutan Langgar Arab.

Masjid yang didirikan tokoh-tokoh saudagar Arab di Donggala itu berkapasitas 50-an jemaah. Bangunan model panggung dengan tiang-tiang penyangga di atas air laut tepi pantai, termasuk lantai dan dindingnya semua terbuat dari kayu ulin, kecuali bagian depan sudah dibeton. Semula beratap sirap sebelum diganti seng.

Bangunan ini hancur saat dihantam tsunami, tanggal 28 September 2018 silam. Kini dibangun kembali dengan konstruksi tiang beton.

Jejak-jejak syiar Islam di Donggala, selain dalam bentuk masjid terdapat pula makam tokoh penyebar Islam yang dikeramatkan. Namanya Lamandanga Pue Janggo di Kelurahan Ganti, Kecamatan Banawa.

“Ini merupakan salah satu bukti kehadiran Islam di Kerajaan Banawa sudah cukup lama ada dan menjadi agama resmi kerajaan. Hingga kini makam Pue Janggo masih sering didatangi peziarah oleh warga, termasuk peziarah dari daerah luar,” kata Andi Bara Lamarauna salah satu tokoh masyarakat di Ganti, kepada media Alkhairaat pada tahun 2021 lalu.

Di bulan Ramadhan ini, keramaian masjid semakin terasa. Apalagi setiap shalat Jumat dan berbuka puasa. Menu andalan berbuka puasa di masjid ini adalah bubur santan dan lawa jantung pisang .

Masjid ini sudah menjadi simbol rentetan perjalanan sejarah Kota Donggala, namun ada harapan dari mereka para jamaahnya, agar pemerintah setempat dapat membantu dengan membangun satu menara lagi.

” Saat ini masjid hanya memiliki satu menara,” kata Rony.

Reporter: JAMRIN/IRMA
Editor: NANANG