PALU – Sebanyak 15 organisasi masyarakat sipil berkumpul dalam Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) untuk membahas isu-isu penting terkait industri nikel di Indonesia.
Acara bertajuk “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan Lingkungan” tersebut bertujuan mengupas dampak sosial, lingkungan, dan tata kelola industri nikel secara komprehensif, terutama dalam kaitannya dengan keadilan bagi masyarakat lokal.
Ketua Panitia KNMKI, Linda Rosalina, menegaskan komitmen para pihak terlibat untuk mendorong tata kelola industri nikel lebih adil dan berkelanjutan.
“Kami ingin menciptakan masa depan tidak hanya menguntungkan secara ekonomi tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat lokal dan lingkungan,” katanya.
Upaya Indonesia menjadi pemain kunci dalam rantai pasok nikel global, terutama dalam konteks transisi energi, telah memicu beragam tantangan sosial dan lingkungan.
Direktur Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting, menyoroti penggunaan PLTU batubara di industri nikel menjadi penyumbang utama pencemaran udara dan air di Sulawesi.
Pius mengusulkan solusi berupa pengembangan jaringan transmisi dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan di kawasan industri. “Produksi nikel perlu diperlambat untuk sejalan dengan pengembangan energi terbarukan, demi mengurangi dampak lingkungan terhadap warga lokal,” ujar Pius.
Di sisi lain, risiko kerja tinggi di sektor nikel menjadi perhatian serius. Menurut Iwan Kusnawan dari Serikat Pekerja Nasional (SPN), kecelakaan kerja sering kali tidak disertai investigasi mendalam, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap penerapan keselamatan kerja.
“Penanganan korban kecelakaan seringkali normatif, hanya berfokus pada jaminan kesehatan tanpa menyentuh aspek pencegahan,” jelas Iwan.
Peneliti Djokosoetono Research Center UI, Leony Sondang Suryani, menambahkan bahwa pelanggaran HAM di sektor nikel bersifat sistemik, dan membutuhkan reformasi hukum yang menyeluruh. “Meskipun ada regulasi ketenagakerjaan, pelaksanaannya seringkali tidak optimal. Dibutuhkan penegakan hukum progresif,” tambahnya.
Fajri Fadhillah dari ICEL menekankan pentingnya transisi energi bersih melalui penggantian PLTU batubara dengan energi terbarukan. Ia juga mendesak pemerintah untuk menegakkan regulasi lingkungan yang lebih ketat di industri tambang dan smelter.
“Pengetatan standar lingkungan akan meningkatkan kesehatan masyarakat dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok nikel global,” ujarnya.
Namun, meskipun hilirisasi nikel mendatangkan manfaat ekonomi secara nasional, Bhima Yudhistira dari CELIOS menyoroti ketidakadilan dalam pembagian hasil. Daerah penghasil nikel, menurutnya, menerima bagian sangat kecil dibandingkan dampak lingkungan yang mereka hadapi. “Pemerintah daerah membutuhkan peningkatan kapasitas fiskal untuk mengatasi kerusakan lingkungan dan beralih ke sumber ekonomi yang lebih berkelanjutan,” kata Bhima.
Murniati, seorang warga Desa Tompira, juga berbagi keluhan tentang dampak tambang nikel terhadap kehidupan nelayan lokal. “Aktivitas tambang merusak ekosistem sungai, dan kami sebagai nelayan sangat dirugikan,” ungkapnya.
Konferensi ini menjadi momen penting untuk membangun masa depan yang lebih berkeadilan, baik bagi masyarakat maupun lingkungan. Langkah-langkah konkret diperlukan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keberlanjutan ekologis.
Reporter :**/IKRAM