Ketua AMSI Sulteng: Media Kurang Fokus Pada Isu Transisi Energi

oleh -
Ketua AMSI Sulteng Mohammad Iqbal kedua dari kiri saat memaparkan materi dialog Pengembangan energi baru terbarukan di Indonesia di Taman GOR Jalan Moh.Hatta,Kota Palu,Senin (11/12). Foto : IKRAM

PALU-Media berperan penting sebagai ujung tombak untuk memperkenalkan transisi energi ke masyarakat. Namun faktanya, isu energi baru terbarukan tersebut, belum menjadi fokus utama media dalam publikasinya.

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulawesi Tengah (Sulteng) Mohammad Iqbal mengatakan,
sesuai dengan fungsinya mengedukasi masyarakat, media juga memiliki tugas penting untuk memberi pemahaman luas dan benar tentang transisi energi ke tengah publik.

“Karena dengan media yang fokus kepada isu transisi energi akan mampu memobilisasi dukungan masyarakat dan percepatan upaya dekarbonisasi sistem energi di Indonesia,”jelasnya saat menjadi narasumber dialog Pengembangan Energi Baru Terbarukan Festival Media ke-2 Hijau 2023 di Taman Gor Palu, Senin (11/12).

Menurut jurnalis senior Sulteng tersebut, berdasarkan data mereka kumpulkan di AMSI, secara nasional tidak dipungkiri bahwa masih sedikit media di Indonesia secara khusus fokus pada isu transisi energi, termasuk di Sulteng.

Bahkan, sejauh ini kata dia,media hanya melihat isu transisi energi belum begitu menarik sehingga publikasinya hanya di tingkat permukaan, tanpa dalam menggalinya dan konsen melaporkannya kepada masyarakat.

“Padahal isu transisi energi tersebut sangat penting untuk dikawal media,” tegas Iqbal.

Koresponden CNN Indonesia ini mengatakan, kedepan media perlu secara masif menyuarakan isu transisi energi.

“Transisi energi bukan hanya menjadi isu nasional, namun secara masif sudah dikampanyekan secara global. Oleh karena itu, penting media di Indonesia fokus kesana,” tandasnya.

Kebutuhan listrik 1.885 TWH

Pada 2021 konsumsi kebutuhan listrik Indonesia telah mencapai 255,1 Terra Watt Hour (TWH) dan diperkirakan bahwa total kebutuhan listrik pada tahun 2060 nanti dapat berkisar hingga 1.885 TWH atau lebih dari 6 kali lipat.

Hal ini membuat pemerintah terus mempercepat program penambahan pembangkit – pembangkit listrik baru.

Tercatat, pemerintah menargetkan untuk membangun pembangkit listrik hingga kapasitas 41 ribu Megawatt pada tahun 2030.

Dalam melaksanakan target tersebut, pemerintah melakukan penekanan pada potensi Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Langkah tersebut dilakukan untuk mengurangi emisi karbon dapat bermuara kepada perubahan iklim. Namun, dalam pelaksanaan dalam fokus pengembangan teknologi EBT, masih ada permasalahan terkait pendanaan dan juga harga jualnya.

Ini diakibatkan oleh mahalnya penerapan energi bersih untuk kebutuhan kelistrikan. Salah satu contohnya dapat dilihat dari pelaksanaan teknologi panel surya.

Berdasarkan analisa PLN, biaya solar panel mencapai US$4 sen/KWH.

Selain itu diperlukan teknologi solid state battery storage agar pembangkit dapat beroperasi selama 24 jam sehari. Namun harga baterai masih sangat tinggi mencapai US$13 sen/KWH.

Alhasil harga perangkat PLTS bersama teknologi baterai dapat mencapai US$17 – 18 sen/KWH. Angka tersebut jauh lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik batu bara (PLTU) sekitar US$6 sen/KWH. (IKRAM)