PALU – Ketua Majelis Ulama (MUI) Kota Palu Prof. KH. Zainal Abidin menafsirkan makna semangat pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim alaihi salam (AS) dan putranya Nabi Ismail AS yaitu menyerahkan sesuatu yang dikasihi sebagai persebahan. Dan sesungguhnya yang dikorbankan itu benar-benar benda berharga, yang sengaja dipelihara disayangi dan mempunyai nilai tinggi.

“Makna qurban boleh jadi ditafsirkan, menyerahkan sesuatu yang dikasihi sebagai persembahan yang sesungguhnya atau sesuatu yang dikorbankan itu benar-benar benda berharga. Tidak cacat dan merupakan sesuatu yang sengaja dipelihara, disayangi dan mempunyai nilai yang tinggi” kata Prof. KH. Zainal Abidin, saat menjadi Khatib Shalat Idul Adha di Masjid Alhidaya Kelurahan Besusu Barat, Kota Palu.

Guru Besar UIN Datokarama Palu itu mengingatkan bahwa pentingnya berkorban lalu menunaikan ibadah shalat. Ia lalu mengutip Qur’an Surah Alkautsar ayat ke 2 yang artinya, Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.

“Lalu akankah qurban hari raya Idul Adha diikuti dengan pengorbanan di hari-hari berikutnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan? Jawabnya ada pada setiap pribadi muslim,” ungkapnya.

Rais Syuriyah PBNU lebih jauh menerangkan, yang menarik dari kisah Nabi Ibrahim AS dan anaknya. Tergambar bahwa pentingnya ajaran dialog dan keterbukaan. Meskipun kata dia, perintah itu datang dari Allah dan Nabi Ibrahim tidak kemudian lalu berlaku semena-mena kepada putra sematawayangnya.

“Nabi Ibrahim tidak sekehendak hatinya meski terhadap anaknya sendiri, miliknya sendiri yang dapat diperlakukan semaunya, Ibrahim justru memberikan kesempatan kepada anaknya untuk mengajukan saran agar diperoleh kata sepakat,” katanya.

Hal ini menurut Prof Zainal, adalah contoh ke teladanan yang harus dipraktekkan oleh setiap orang tua yang hidup di zaman ini. Begitu pula setiap anak harus mengikuti kepatuhan, kerelaan dan ketaatan serta kesetiaan Nabi Ismail terhadap orang tuanya. Dialog itu kata dia merupakan simbol antara atasan dan bawahan, pemerintah dan rakyat, penguasa dan masyarakat. Sehingga tidak terdapat jurang pemisah atau kesenjangan antara atasan tidak merasa paling hebat dan benar.

“Yang pada gilirannya bawahan lebih percaya diri dan dapat lebih kreatif dan maju. Begitu juga penguasa dan pemerintah tidak akan menjadikan rakyat sebagai obyek dan sasaran yang harus dikuasai dan diintimadasi, Tetapi rakyat diberi kebebasan,dalam mengajukan pendapat dan menyalurkan aspirasi serta mendapatkan hak-haknya,” pungkasnya.

Nanang IP