Identitas dalam Politik adalah Sah, Belum Tentu Berbahaya bagi Demokrasi

oleh -
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden (kanan), saat menjadi pembicara dalam kuliah tamu, di Aula Pascasarjana UIN Datokarama Palu, Senin (26/06). (FOTO: IST)

PALU – Identitas dalam demokrasi adalah wujud dari agregasi kepentingan yang merefleksikan realitas masyarakat.

Untuk itu, penggunaan identitas dalam politik dinilai sah dan belum tentu berbahaya bagi demokrasi.

Hal ini dikatakan Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Datokarama Palu, Dr. Sahran Raden, dalam kuliah tamu, di Aula Pascasarjana UIN Datokarama Palu, Senin (26/06).

“Namun hal ini jika kita melihat dalam konteks bahwa Pemilu dalam demokrasi adalah sarana yang damai dan menjadi alternatif dari cara kekerasan bagi semua kelompok dalam masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan mereka atau merebut kekuasaan,” kata Sahran.

Diyakini, demokrasi tidak hanya soal kepentingan yang bersifat rasional, tetapi juga demokrasi yang akan kehilangan kontestasi tanpa identitas di dalamnya. Identitas dan kepentingan, kata dia, biasa saling memengaruhi dalam relasi yang kompleks

Sahran menambahkan, momentum pemilu tidak akan sepi dari politik identitas. Kata dia, para aktor politik sadar betul bahwa untuk menang tidak cukup mengandalkan adu gagasan dan tawaran-tawaran rasional tentang bagaimana menciptakan lapangan kerja, memberantas korupsi, memerangi terorisme, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan seterusnya.

“Tetapi juga oleh posisi para kandidat dan partai terkait isu-isu yang kental muatan identitas seperti keberadaan imigran, aborsi, homoseksualitas, pemakaian hijab dan cadar, suku, agama, letak geografis, minoritas mayoritas,” jelasnya.

Namun, kata dia, penggunaan narasi perang agama dengan menyematkan label kafir terhadap pihak lawan adalah wujud dari politik identitas yang tidak beradab, karena mendorong eskalasi kontestasi pemilu menjadi pertarungan yang bersifat eksistensial.

“Adalah sah ketika individu atau kelompok sosial mengklaim bahwa perjuangan politik mereka adalah untuk mengangkat derajat umat agama tertentu, melindungi hak-hak komunitas suku, masyarakat adat, dan seterusnya. Kita tidak perlu heran ketika aktor politik menggunakan simbol-simbol komunal untuk mengasosiasikan diri mereka dengan kelompok yang mereka perjuangkan, karena demokrasi memang tidak bisa sepenuhnya bebas dari isu identitas,” urai Ketua Pengurus Wilayah (PW) Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Provinsi Sulteng itu.

Pada kegiatan yang mengangkat tema “Politik Identitas: Quo Vadis?” itu, Sahran Raden juga menguraikandua isu besar yang mewarnai momentum politik identitas di Indonesia.

Pertama, kata dia, isu-isu pemilu yang di dalamnya mencakup kampanye dengan membawa narasi polarisasi agama, suku dan etnik yang tidak mendidik dan sangat propokatif dan ajakan ujaran kebencian.

Selanjutnya pada tahap pencalonan, penentuan calon di daerah pemilihan oleh parpol yang masih mencerminkan asal daerah, etnik dan agama

“Maraknya disinformasi dan berita hoax dalam kampanye pemilu dengan menggunakan saluran media social,” katanya.

Ia menjelaskan, ciri polarisasi politik identitas tersebut yakni mengeksploitasi perbedaan klas, dan kebencian berdasar SARA.

“Konflik antar klas, trauma masa lalu, hingga kebencian berdasar SARA yang ada di bawah sadar dipupuk dan dibangkitkan. Isu ini juga dirancang untuk menciptakan kecemasan, kecurigaan, kebencian, hingga permusuhan,” katanya.

Sementara itu, kata dia, pada isu non pemilu, politik identitas dapat dilihat pada gerakan pemekaran daerah atau pergantian kekuasaan pemerintahan.

Selain itu, isu-isu tentang keadilan dan pembangunan daerah menjadi sangat sentral dalam wacana politik, sehingga lebih banyak dipengaruhi oleh ambisi para elit lokal untuk tampil sebagai pemimpin.

“Ini merupakan masalah yang tidak selalu mudah dijelaskan. Operasionalisasi politik identitas juga dimainkan peranannya secara optimal melalui roda pemerintahan,” katanya.

Tak hanya itu, lanjut dia, politik identitas juga merambah aspek hukum konstitusi. Menurutnya, politik identitas beroperasi di wilayah konstitusi dan hukum dengan cara memasukkan kepentingan identitasnya secara particular.

“Hal ini dilakukan jika kepentingan dari politik identitas etnis yang bersifat minoritas tidak terjembatani melalui pengakuan hak-haknya untuk berpartisipasi di wilayah pembuatan keputusan hukum secara bersama,” imbuhnya. (RIFAY)