PARIGI- Dialog pertanahan bertemakan “Tanah Untuk Siapa dan Milik Siapa” dengan sub tema “Tanah Swapraja Dalam Kajian Hukum Postif”, berlangsung lancar.
Dialog publik yang dilaksanakan lembaga Sangulara Sulteng tersebut, menghadirkan pihak Kejaksaan Negeri Parigi, diwakili Kasi Intel, Dwi Eko Purnomo serta Kasi Datun, Agus Susandi, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum dan Hak Asasi Manusia (Sti-Ham), Hartono Taharudin dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Parigi Moutong, diwakili Seksi Infrastruktur dan penertiban dan pengukuran tanah, LM. Arif, berlangsung di Rainbow, Rabu (16/08).
LM Arif, mewakili BPN Parigi Moutong mengatakan, untuk membatalkan kepemilikan tanah dalam bentuk Surat Penyerahan (SP) melalui keputusan pengadilan.
“Apabila ditemukan dua SP dalam satu objek tanah, maka untuk menentukan keabsahannya harus dilakukan melalui proses pengadilan. Sepanjang itu tidak dilakukan, selamanya tidak ada pihak yang berhak memilki tanah itu sepenuhnya, ” ungkapnya.
Mengenai status tanah adat, ia menjelaskan, secara politis sejak keluarnya keputusan Gubernur Sulawesi Tengah 1993, bahwa semua tanah di Provinsi Sulteng adalah tanah eks swapraja.
“Maka berangkat dari itu, maka norma adat dalam konteks pertanahan sudah dihapuskan,” tekannya.
Sementara itu, Kasi Pidum Kejari Parigi Moutong, Dwi Eko Purnomo, menyarankan tidak semua persoalan tanah harus diselesaikan secara hukum. Misalnya, jika terjadi penyerobotan lahan sebaiknya dilakukan dulu penyelesaian secara kekeluargaan sebelum menempuh jalur hukum.
“Apabila sudah menempuh jalur hukum maka kedua-kedua, baik penggugat dan digugat akan menjadi pusing, ” tuturnya.
Hadir sebagai peserta dalam dialog tersebut Tokoh masyarakat, Mahasiswa STI-HAM, perwakilan Organisasi Masyarakat (Ormas) dan Organisasi Kepemudaan (OKP). (BAMBANG)