PALU- Aktivis Agraria Sulteng, Noval A. Saputra, menyikapi pernyataan Wakil Ketua II DPRD Sulteng, Syarifudin Hafid, terkait dugaan PT Tamaco Graha Krida (PT TGK) beraktivitas tanpa izin.
Noval mendesak agar DPRD dan Gubernur Sulawesi Tengah segera melakukan investigasi menyeluruh dan memanggil pihak terkait, termasuk Panitia B dan masyarakat lingkar sawit PT TGK, guna mengklarifikasi masalah tersebut.
Menurut Noval, berdasarkan informasi dihimpun, masa berlaku Hak Guna Usaha (HGU) PT Tamaco Graha Krida berakhir pada 31 Desember 2024, yang terletak di Desa Ungkaya dan Desa Emea, Kecamatan Witaponda, Kabupaten Morowali.
Noval menegaskan bahwa pada tanggal tersebut, Surat Keputusan perpanjangan HGU oleh Kementerian ATR/BPN harusnya sudah diteken sesuai dengan ketentuan Pasal 77 ayat (1) Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18/2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah.
“Jika PT TGK tidak mengajukan permohonan perpanjangan HGU atau pembaruan hak dalam jangka waktu dua tahun setelah berakhirnya hak, maka berdasarkan Pasal 14 ayat (1) huruf a Peraturan Presiden Nomor 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, hak atas tanah tersebut dianggap habis dan kembali menjadi tanah negara,”beber Noval, Sabtu (25/1).
Hal tersebut kata Noval membuka peluang bagi reforma agraria, yang dapat menguntungkan masyarakat di sekitar wilayah tersebut.
Noval menilai bahwa jika HGU PT TGK tidak diperpanjang atau diperbarui, maka tanah tersebut dapat didistribusikan kepada masyarakat Desa Ungkaya dan Desa Emea sebagai bagian dari reforma agraria.
Menurutnya, reforma agraria bertujuan untuk menata kembali pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber agraria demi kepentingan masyarakat, terutama untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kecil dan mengurangi ketimpangan sosial.
Lebih lanjut, Noval menjelaskan bahwa untuk perpanjangan atau pembaruan HGU, salah satu syaratnya adalah perusahaan yang memegang hak tersebut harus merupakan badan hukum berbentuk perseroan terbatas dan kegunaannya harus untuk perkebunan.
Selain itu, perusahaan tersebut wajib membangun kebun masyarakat sekitar dengan luas minimal 20% dari total luas HGU diberikan, sesuai dengan Pasal 27 huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah.
“Perusahaan juga diwajibkan untuk menunjukkan bukti bahwa mereka telah memenuhi kewajiban tersebut, sebagaimana diatur pasal 73 ayat (2) huruf g dan pasal 82 Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18/2021,” katanya.
Kebun masyarakat yang dibangun perusahaan harus minimal seluas 20 persen dari total luas areal kebun dikelola perusahaan, sesuai dengan ketentuan dalam pasal 58.
Noval juga menekankan pentingnya pengawasan terhadap perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan. Pengawasan ini harus dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, serta melibatkan peran serta masyarakat, sesuai dengan Pasal 98, 99, dan 100 Undang-Undang Nomor 39/2014 tentang Perkebunan.
“Dengan demikian, pelaksanaan kewajiban perusahaan dapat dipastikan sesuai dengan ketentuan hukum berlaku,” katanya.
Terakhir, Noval mendesak agar gubernur dan DPRD Sulawesi Tengah segera mengambil tindakan memperkuat resolusi konflik agraria dan mewujudkan reforma agraria di wilayah tersebut. Pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk memajukan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat, agar mereka tidak kehilangan akses terhadap sumber ekonomi mereka butuhkan.
Reporter : **/IKRAM