MENYINGKAP TIRAI: Sosok Perempuan Dibalik Berdiri Tegaknya NKRI

oleh -
Pantjewa

KARMANYEVA DHIKARASTE MA PHALESU KADHACANA

SPIRIT PEREMPUAN

Perempuan  (Per-empu-an, kata sifat), adalah mahluk Tuhan yang mempunyai kelebihan spirit khusus dan istimewa.

Bung Karno sang Proklamator sangat memuliakan dan mengakui betapa besar andil perempuan membakar semangat dan daya juang bangsanya. Sehingga Presiden I RI itu dalam orasinya sering mengutip ungkapan leluhur bangsanya dalam bahasa Sansekerta: “KARMANYEVA DHIKARASTE MA PHALESU KADHACANA” (=Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu tanpa menghitung-hitung akan akibatnya). Pesan yang bermakna ketulusan jiwa ketika terjun kemedan juang itu, adalah pembekalan moral, dalam bentuk nasihat yang diberikan sang kekasih Shri Kresna kepada sang pujaannya Arjuna dalam Bhagawat Gita.

Bung Karno sendiri sangat sulit dipisahkan dari andil dan kontribusi spirit perempuan yang pernah mendampinginya; Siti Utari binti H.O.S Tjokroaminoto ketika di Surabaya, Inggit Ganarsih saat kuliah di Bandung dan Fatmawati sewaktu Bung Karno di buang Belanda di Bengkulu 1938.

Dan perempuan terakhir, Fatmawati Sukarno yang kemudian menjadi Ibu Negara (First LADY) pertama, andilnya terhadap tegaknya Ibu Pertiwi ini tak akan pernah lepas dari setiap ingatan anakbangsa. Dari tangan dingin Ibu Negara inilah kita memiliki  Bendera Pusaka (Sang Saka) Merah Putih yang duplikatnya dikibarkan tiap tahun pada setiap 17 Agustus di Istana Negara Jakarta.

PERLAWANAN PEREMPUAN

“Jangan sekali-kali melupakan sejarah (=Jas Merah) adalah pesan Bung Karno yang harus dimaknai bahwa “History is a Priceless Treasury of Sleeping Wisdom” (Sejarah adalah pembendaharaan yang tak ternilai dari kebajikan yang harus dibangunkan dari tidurnya).

Demikian besarnya keutamaan “sejarah” sehingga salah seorang pemimpin besar kita di era revolusi itu pernah juga berseru: “Bangsa yang besar hanyalah bangsa yang menghargai pahlawannya”.

Salah seorang srikandi Ibu Pertiwi yang tak akan lenyap jasanya dari kenangan sepanjang masa adalah Cut Nyak Dien dari Aceh. Dalam catatan sejarah perang “Ibu Pertiwi”, Perang Aceh berlangsung lama dibanding perlawanan di daerah lain.

Pada perang Aceh tahap pertama (27 Maret 1873 – 16 April 1873), telah menelan korban di pihak Belanda sebanyak 9 orang dan 46 luka-luka. Kapal perang “CITADEL VAN ANTWER PEN” yang mendaratkan pasukan Belanda di Aceh tanggal 8 April 1873 juga terkena 12 kali tembakan meriam dari prajurit Aceh.

Mayor J.H.R. Kohler yang memimpin penyerangan di Aceh dadanya tertembus peluru para pejuang Aceh hingga tewas pada 14 April 1873.

Pada perang Aceh tahap kedua, komandan pasukan Belanda, Mayor Jenderal J.H. PEL juga mati terbunuh pada Februari 1876.

Aceh sangat sulit ditaklukan. Karena itu, Belanda mengirim seorang Islamolog bangsa Belanda bernama Dr. Shouck Hurgronje bertugas menyelidiki masyarakat Aceh. Hasil penyelidikannya tertuang dalam buku De Atjehers.

Isi De Atjehers intinya adalah berupa saran-saran yang ditujukan kepada Van Heutsz, penguasa Belanda di Aceh saat itu.

Saran-saran Hurgronje antara lain :

  • Golongan Ulama harus diperangi, karena golongan inilah yang berpengaruh besar dikalangan masyarakat Aceh.
  • Perang Aceh tidak tergantung pada seorang pemimpin.

Faktor terakhir ini kemudian terbukti dalam catatan sejarah perjuangan bangsa, munculnya  beberapa Pahlawan Nasional dari Aceh; Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Panglima Polem dan salah seorang diantaranya adalah srikandi Ibu Pertiwi “ Cut Nyak Dien “.

Cut  Nyak Dien dilahirkan di Lampadang pada tahun 1850. Ketika ia dilahirkan, hubungan Kerajaan Aceh dan Belanda sedang mengalami krisis. Ia menikah pada usia muda dengan seorang pemuda pejuang bernama Teuku Ibrahim Lamnga.

Pada bulan Desember 1875, Lampadang tempat kelahiran Cut Nyak Dien berhasil diduduki Belanda. Cut Nyak Dien mengungsi, sedangkan ayah dan suaminya turun di medan perang melawan Belanda.

Empat B (buih, buron, buang, bunuh) adalah konsekwensi logis yang selalu dihadapkan kepada setiap pejuang yang tulus. Ternyata Teuku Ibrahim Lamnga suami dari Cut Nyak Dien, darah kesatrianya membasahi bumi Aceh. Ia gugur  dalam pertempuran disuatu tempat bernama GLE TARUM pada bulan Juni 1878.

Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien bersumpah hanya bersedia kawin dengan seorang lelaki yang bersedia berjuang melawan Belanda. Sumpahnya terpenuhi.

Pada tahun 1880 ia kawin untuk kedua kalinya dengan Teuku Umar yang masih merupakan kemanakan ayahnya.

Saat itu Teuku Umar sudah dikenal sebagai pejuang yang selalu berhasil membuat kocar kacir dan banyak menimbulkan kerugian di pihak Belanda.

Pada tahun 1893, tak terduga, Teuku Umar bekerja sama dengan pihak Belanda. Ternyata itu hanya taktik belaka untuk mendapatkan logistic dari Belanda. Setelah mendapatkan senjata, perlengkapan dan uang, ia pun berbalik menyerang Belanda.

Namun Teuku Umar juga membasahi darah kesatrianya di Aceh. Ia gugur dalam pertempuran di Meulaboh pada 11 Februari 1899.

Sepeninggal Teuku Umar, Cut Nyak Dien melanjutkan perjuangan sang suami. Ia dikenal sebagai pejuang yang tak kenal kompromi dan pantang mundur. Selama enam tahun Cut Nyak Dien bergerilya menyulitkan Belanda untuk menangkapnya.

Waktu terus berjalan, situasi Aceh sangat sulit mendapatkan bahan makanan. Cut Nyak Dien juga semakin uzur, lebih-lebih penyakit encok dan rabun yang diidapnya sering kambuh. Kekuatan pasukannya juga semakin melemah.

Akibatnya Belanda berhasil menangkapnya, walaupun Cut Nyak Dien sempat memberikan perlawanan dengan rencongnya yang sangat terkenal, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang di Sumedang, Jawa Barat.

Sang pejuang perempuan Srikandi Ibu Pertiwi Cut Nyak Dien kembali kepangkuan Sang Pencipta Allah SWT dan dimakamkan di tempat pembuangannya pada 6 November 1908.

Selamat jalan pahlawan bangsa, semoga jasamu besarmu tak akan terlupakan.

PEREMPUAN DALAM PENDIDIKAN DAN ORGANISASI

Tokoh Pendidikan Nasional yang cukup dikenal bernama asli R.M Suwardi Suryaningrat, kemudian dikenal sebagai Ki. Hajar Dewantoro.

Ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa pada 3 Juli 1922 di Jogjakarta. Metode kepemimpinan yang diterapkannya adalah ”Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” (apabila di depan selalu jadi teladan, ketika di tengah-tengah konsisten menggalang persatuan dan pada saat di belakang giat mendorong kepada kebaikan).

Jasa besar pendiri perguruanTaman Siswa tersebut selalu dikenang. Namun tanpa mengabaikan ketokohan pejuang perempuan yang lebih dahulu berkiprah di bidang pendidikan.

Pada awal abad XX, gagasan tentang peningkatan kecerdasan telah mulai tumbuh dipelopori oleh R.A Kartini (1879-1904). Gagasan tokoh perempuan (anak dari Buapti Jepara) ini termuat dalam surat-surat pribadinya yang dikirimkan kepada J.H Abendanon. Kemudian oleh Abendanon diterbitkan pada tahun 1912 dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” ( Habis Gelap Terbitlah Terang).

Penerbitan surat-surat tersebut berdampak pada tumbuhnya gerakan emansipasi wanita. Mulailah berdiri  sebuah kelas kecil untuk kepentingan gadis-gadis yang belajar empat kali seminggu. Para murid mendapatkan pelajaran membaca, menulis, kerajinan tangan, memasak dan menjahit.

Sementara itu pada tahun 1904, Raden Dewi Sartika (1884-1947) mendirikan sekolah yang bernama “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut kemudian berubah menjadi “Keutamaan Isteri ”.

Pada tahun 1906, R. Dewi Sartika menikah dengan B.A Suriawinata. Namun usahanya di bidang pendidikan tetap berlanjut. Hingga tahun 1912, Dewi Sartika telah berhasil mendirikan sembilan sekolah gadis.

Hingga akhir hayatnya, Dewi Sartika tetap mengurus kepentingan sekolah-sekolah yang ia dirikan. Dewi Sartika meninggal dalam pengungsian pada zaman revolusi tahun 1947.

Perjuangan dua tokoh perempuan ini telah menginspirasi timbulnya berbagai gerakan perempuan. Pada tahun 1912 di Jakarta didirikanlah “Puteri Merdika” yang bertujuan mencari bantuan keuangan untuk gadis-gadis yang ingin melanjutkan pelajaran. Untuk tujuan yang sama, dibentuk pula Kartinifonds didirikan oleh Tuan dan Nyonya (suami isteri) C. Th Van Deventer.

MENCARI IDENTITAS

Terminologi atau istilah Indonesia pertama kali diperkenalkan dalam bentuk “Indu Nesians” oleh sarjana Inggris George Windser Earl pada tahun 1850. Sebutan ini pada mulanya merupakan istilah “Etnografis”, untuk melukiskan suatu rumpun ras, polinesia, yaitu ras kulit sawo matang dari kepulauan India.

Perkembangan selanjutnya, istilah ini diteruskan oleh rekannya James Richardson Logan tetapi dalam artian  geografis yang meliputi wilayah dari Sumatera hingga Formasa.

Istilah Indonesia kemudian menjadi populer setelah digunakan oleh seorang  etnolog Belanda bernama Adolf Bastian dalam karyanya (1884-1894).

Penggunaan istilah Indonesia oleh Adolf Bastian ini dalam artian luas, mencakup wilayah geografis maupun kultural, mencakup orang-orang yang cenderung mempunyai kesamaan bahasa dan budaya sepanjang gugus kepulauan India, mulai dari Madagaskar di Barat Nusantara di Asia Tenggara, hingga Formasa (Taiwan) di Utara.

Percobaan penggunaan istilah Indonesia (Indonesische) di Hindia Belanda, dimulai pada akhir tahun 1910-an.

Terinspirasi oleh semakin seringnya penggunaan istilah “Indonesia”, maka para aktifis mahasiswa dan intelegensi sadar politik, baik yang ada di luar negeri maupun di tanah air, bersemangat menggunakan istilah tersebut sebagai suatu “neologisme” ideologisme yang berarti istilah lama untuk konteks dan pemaknaan baru. Upaya neologisme dimaksudkan untuk mempertautkan berbagai unsur pergerakan demi terwujudnya konsepsi kebangsaan baru yang dapat mengatasi berbagai perbedaan agama, etnis dan ideologis.

TERBENTUKNYA BERBAGAI PERHIMPUNAN

Sejak tahun 1908, bermunculan berbagai wadah persatuan yang dibentuk oleh para pelajar/mahasiswa, antara lain di Negeri  Belanda atas dorongan J. H Abendanon (orang Belanda yang pro perjuangan Indonesia) didirikan Indische Vereeniging (IV) atau Perhimpunan Hindia Belanda.

Di Kairo, Mesir para pelajar disana membentuk juga perkumpulan yang bernama “Djama’ah Al-Chairiah”. Perkumpulan pelajar Islam di Kairo Mesir ini diperkuat dengan kedatangan pelajar Islam Indonesia yang meninggalkan Arab Saudi karena tidak cocok dengan ajaran dan gerakan wahabiyah.

Di tanah air juga didirikan Algemene Studie Club (ASC) pada tahun 1921 dengan tokoh utamanya Soekarno, seorang mahasiswa THS (ITB) di bandung. Diterbitkan pula majalah yang bernama “Indonesia Moeda”. Kemudian di Surabaya berdiri “Indonesische Studie Club (ISC) tahun 1924 oleh Soetomo yang pulang dari negeri Belanda setahun sebelumnya. ISC juga menerbitkan sebuah majalah “Soeloeh Ra’jat”.

Untuk lebih mempertegas identitas ke-Indonesia-an, Indhische Veree Niging merubah nama menjadi Indonesische Veree Niging, kemudian merubah lagi memakai ungkapan Indonesia bahasa Melayu menjadi Perhimpunan Indonesia” dan Majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka.

Suwardi Suryaningrat, Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker adalah tiga serangkai aktifis PI tahanan politik Belanda. Mereka kembali ke Indonesia, mendirikan Majalah Hindia Poetra seperti yang disebutkan di atas.

SOEMPAH PEMUDA GAGAH PERKASA UNIK

Diatas telah disebutkan, PI menerbitkan majalah “Hindia Poetra” dan ISC juga menerbitkan Majalah “Soeloe Ra’jat”. Demikian juga halnya dengan Majalah Algemene Studie Club (ASC) juga hadir dengan majalah “Indonesia Moeda”.

Melalui tulisan-tulisan dalam berbagai majalah diatas, maka terkomunikasikanlah ide-ide ke- Indonesia-an ke berbagai belahan tanah air, juga kepada para pemuda pelajar/mahasiswa di luar tanah air, terutama di Belanda dan Mesir. Maka terbangunlah rasa nasionalisme untuk memajukan kesadaran akan ke-Indonesia-an sebagai sebuah bangsa.

Makin meningkatkan kesadaran ke-Indonesia-an ini ditandai dengan terbentuknya Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) pada tahun 1926. Keanggotaannya diperluas, merekrut mahasiswa Jakarta dan Bandung.

Peran besar PPPI yang menonjol adalah menyatukan berbagai ragam perhimpunan pelajar dan pemuda, sementara para mantan aktivis PI berupaya keras menyatukan berbagai studi club, organisasi pemuda pelajar serta organisasi-organisasi politik (BU, SI, Muhammadiyah dan Pasundan).

Dari persatuan pemuda ini, serta gerakan-gerakan tersebut, maka terbentuklah sebuah wadah pemersatu yang bernama Komite Persatuan Indonesia (KPI) pada tahun 1926. KPI inilah yang kemudian berhasil menancapkan tonggak sejarah yang monumental dengan berhasilnya mengadakan kerapatan pemuda Indonesia pertama, tanggal 30 April-02 Mei 1926 di Jakarta. Kerapatan Pemuda Indonesia yang juga disebut Kongres Poemuda atau kemudain dikenal sebagai Sumpah Pemuda pertama, menghasilkan kesepakatan diterimanya Blok Konsep Nasional.

Tindak lanjut dari kerapatan tersebut dengan dipelopori oleh para aktivis ASC didirikanlah organisasi pelopor bernama Jong Indonesia sekalaigus menerbitkan majalah yang juga bernama Jong Indonesia pada awal 1927. Pada akhir 1927 organisasi dan majalah ini berubah menjadi ‘’Pemoeda Indonesia’’ di susul dengan pembentukan organisasi sayap perempuan bernama ’’Poetri Indonesia’’.

Sejarah juga mencatat berdirinya dua perhimpunan politik yang lebih vulgar menampakan wajahnya yaitu bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka. Kedua perhimpunan politik dimaksud adalah Perserikatan Nasional Indonesia (PNI)’pada Juli 1927, diikuti berdirinya Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada Desember 1927.

Munculnya PNI dan PPPKI merangkul para aktivis pergerakan mengadakaan ’’Kerapatan Pemuda Indonesia’’ kedua dipimpin oleh PPPI pada tanggal 26-28 Oktober 1928 di Jakarta. Kerapatan ini menghasilkan sebuah tonggak sejarah yang monumental dalam pembentukan blok historis. Tonggak sejarah monumental tersebut bernama “Sumpah Pemuda” yang diikrarkan pada 28 Oktober 1928.

Teks Aslinya:

Kami Poetra Dan Poetry  Indonesia Mengakoe

Bertumpah Darah Jang Satoe, Tanah Indonesia

Kami Poetra Dan Poetry Indonesia Mengakoe Berbangsa

Jang Satoe, Bangsa Indonesia

Kami Poetra Dan Poerty Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.

Dua kali kongres pemuda saat itu terselanggara dibawah bayang-bayang ujung bayonet pemerintah kolonial Belanda. Para aktivis tidak pernah galau atau resah soal pendanaan kongres. Yang jelas adalah mustahil para aktivis mengajukan proposal pembiayaan kepada Pemerintah Hindia Belanda karena justru Pemerintah Hindia Belanda itulah yang akan dienyahkan dari bumi pertiwi tercinta.

Muncul pula keunikan, pada kongres pertama, para aktivis sama sekali belum mampu menggunakan Bahasa Indonesia.

Kemudian pada kongres kedualah para peserta sudah mulai menggunakan bahasa Melayu tapi nuansanya masih sangat menggelikan.

Suasana kongres kedua dalam hal menggunakan Bahasa Indonesia digambarkan oleh pengamat resmi dari Belanda bernama Vander Plas yang mengatakan Soegondo Djojopoespito sebagai pemimpin kongres yang tidak mampu menunaikan tugasnya secara baik. Pemimpin kongres pelajar Soegondo dianggap tidak dapat memenuhi tugasnya dan kekurangan otoritas. Mencoba berbicara Bahasa Indonesia tetapi tidak mampu melakukan dengan baik, bahkan ada penolakan secara diam-diam terhadap penggunaan Bahasa Indonesia .

Soenarjo, seorang mahasiswa hukum di Leiden dengan lugas menampakan kekesalannya: “Saya merasa jijik dengan apa yang telah diperbuat oleh Belanda dan saya berniat segera setelah saya pulang ke tanah air, akan mencari guru yang bisa membantu memperbaiki bahasa Melayu dan Jawa saya yang sangat-sangat menyedihkan

PEREMPUAN DIBALIK SOEMPAH PEMUDA

Seorang tokoh perempuan, Siti Soendari-lah yang secara heroik sanggup berpidato dalam Bahasa Indonesia pada Kongres Perempuan Indonesia tanggal 22-25 Desember 1928.

Peninggalan monumental Srikandi Indonesia Siti Soendari yang berpidato dalam bahasa Indonesia pada kongres perempuan tersebut, teks aslinya adalah :

Sebeloem kami memoelai membatjakan ini patoetlah rasanya kalaoe kami terangkan lebih dahoeloe, mengapa kami tidak memakai bahasa Indonesia ataoe bahasa Djawa, boekan sekali-kali karena kami hendak merendah-rendakan bahasa ini, ataoe mengoerang-ngoerangkan harganya, itoe sekali-sekali tidak. Tetapi barang siapa diantara toean jang mengoendjoengi kelapasan pemuda di Kota Djacatra (Betawi), jang diadakan beberapa boelan jang laloe ataoe setelah membatja poetoesan kerapatan jang terseboet, tentoe masih mengingat akan hasilnya, yaitu hendak berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia, hendak bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia dan hendak menjoenjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia. Oleh karena jang terseboet inilah maka kami sebagai poetri Indonesia jang lahir di Poelaoe Djawa jang indah ini berani memakai bahasa Indonesia di muka ra’jat kita ini. Bukankah kerapatan kita kerapatan Indonesia ditimbulkan oleh poetri Indonesia dan dioentoekan bagi seloeroeh kaoem istri dan poetri Indonesia, beserta tanah toempah darah dan bangsa Indonesia’’.

PEREMPUAN DIBALIK RANCANGAN UUD

Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa sumpah pemuda telah berhasil membentuk kesepakatan diterima blok konsep nasioanal dan pada sumpah pemuda kedua telah menghasilkan pula blok historis berupa ikrar sumpah pemuda yang dibicarakan pada tanggal 28 Oktober 1928, seperti yang telah diuraikan diatas.

Jarum jam sejarah berputar sedemikian cepatnya, pemerintah Belanda kemudian tidak mampu membendung arus derasnya serangan bala tentara dari Nipon Jepang. Indonesia pun berada dalam cengkraman penindasan fasisme-Jepang yang mengaku sebagai saudara tua. Dengan semboyan tiga “A” (nipon cahaya asia, nipon pemimpin asia, nipon pelindung asia). Bangsa Indonesia pun terlena dengan bujuk rayu tersebut. Ternyata kehadiran “saudara tua” tersebut, walaupun hanya seumur jagung, cukup membuat kesengsaraan dan penderitaan bagi rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia benar-benar tertipu dengan propaganda manisnya Jepang.

Di Sulawesi Tengah sendiri, surat kabar mingguan “Pedoman Baru” pimpinan jurnalis senior Horas Siregar dan Ince Makka antara lain menulis “Jepang melakukan pembunuhan secara kejam dan buas terhadap rakyat dan para pejuang sehingga Jepang itu sebenarnya lebih buas dari pada binatang”.

Bersyukurlah dalam waktu singkat bala tentara dari Nipon tidak mampu lagi menangkis serangan  pasukan sekutu di berbagai medan pertempuran. Dalam situasi tidak berdaya seperti itu, Jepang berusaha menarik simpati dengan memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia.

Bujukan kemerdekaan dari Perdana Menteri Jepang, Kimiako Kaiso, dikenal dalam sejarah dengan istilah “Janji Kaiso” yang diucapkannya pada tanggal 7 September 1944.

Janji kaiso tersebut ditindaklanjuti pembentukan Badan Penyelidik Usaha Pesiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang “ Dikorutzi Ziumbi Tyosakai” pada 29 April 1945.

Badan ini bertugas melakukan usaha menyelidiki kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang “dokrurit zu zinbi inkai”.

Perlu diketahui bahwa sehari sebelum pembubaran BPUPKI, yaitu pada 6 Agustus 1945, sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima, disusul dengan pemboman Kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada kepada sekutu.

Dengan demikian, PPKI yang menggantikan BPUPKI dengan tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD, bekerja tampa campur tangan sedikitpun dari pihak Jepang. PPKI melakukan tugasnya pada masa 17 Agustus 1945, bahkan sampai pada penetapan presiden dan wakil presiden serta UUD, yang kemudian dikenal sebagai UUD RI 1945.

Akan halnya BPUPKI, pada awalnya beranggotakan 63 orang (termasuk satu ketua dan dua wakil ketua), kemudian mengalami penambahan menjadi 69 orang (termasuk satu ketua dan dua wakil), kemudian mengalami penambahan sebanyak 7 orang anggota kehormatan dari orang-orang Jepang.

Yang menjadi catatan khusus adalah keterlibatan dua orang perempuan dalam keanggotaan BPUKPI yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso dan Ny. R.S.S Soenaryo Mangoenpoespito.

Radjiman Wediostiningrat selaku Ketua BPUPK pada 11 Juli 1945 membentuk tiga kelompok panitia:

  1. Panitia Perancang Hukum dasar diketuai oleh Soekarno, Maria Ulfah Santoso, termasuk salah seorang anggota panitia ini bersama anggota lainnya antara lain Laturharhary, Wachid Hasim, Ny. Maria Ulfah Santoso dan lain-lain telah menyumbangkan pemikirannya terhadap dihilangkannya tujuh rangkaian kata dalam Piagam Jakarta (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) digantikan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
  2. Panitia perancang keuangan dan Ekonomi dengan Ketua Mohammad Hatta.
  3. Panitia perancang pembela tanah air dengan ketua Abikoesno Tjokro Soejoso, Ny. S.S Soenaryo Mangoenpoespito, masuk dalam panitia ini bersama dengan anggota panitia lainnya, antara lain Liem Koehian, Boentaran, dan Roeslan.

Ny. R.S.S Soenaryo telah berjasa menyumbangkan pemikirannya hingga terwujudnya Bab XII Pertahanan Negara pasal 30 UUD RI 1945 (sebelum amandemen) yang berbunyi ”Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.

Setelah amandemen kedua pada tahun 2000 menjadi BAB XII Pertahanan dan Keamanan negara pasal 30 ayat 1 Tiaptiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.

Kalau saat ini secara nasional sedang digalakkan sukarelawan bela negara, maka lebih 70 tahun lalu, seorang perempuan bernama Ny. R.S.S Soenaryo Mangoen Poespito sudah berjasa menyumbangkan pemikirannya dalam hal pertahanan dan keamanan negara itu.

PEREMPUAN SULTENG

NTINA-BULONGGO-TINA NGATA

NTINA adalah kelompok keluarga pemegang kekuasaan yang “NORAMBANGA” membantu dalam sistem pemerintahan (masa lalu). Disebut juga “BULONGGO”  atau Tulang Pungggung.

NTINA-BULONGGO merupakan persekutuan komunitas laki-laki dan perempuan (keluarga besar pengendali kekuasaan). Sedangkan khusus komunitas perempuan dalam budaya Kaili disebut  “TINA NGATA” atau “ Bunda Pertiwi”.

SAIKUNI KIRE, arti harfiahnya goresan kuning yang nampak dikening seseorang.

Dalam budaya Kaili “Saikuni Kira” ini dipahami sebagai ciri khas kewibawaan yang merupakan penampakan di wajah turunan “Darah Biru”.

Dalam makna filosofi, sosok “SaiKuni Kira” sangat kentara “ NOAMASA (Kaili), NOPAHO (Kulawi)”. Kentara ber “MARWAH” atau gezag (Wibawa). Marwah sendiri adalah rangkuman dari unitas pengertian yaitu :

  • Menjadi kebanggaan (Pride)
  • Selalu menghargai sesama dengan tulus, Ikhlas sehingga makin meningkatkan derajat dan harga dirinya (digrity).
  • Memiliki ekspresi kegagah perkasaan, patriotik, heroik (manlines).

Tugas “TINA NGATA” mendampingi “TOTUA NGATA” cukup signifikan bahkan relatif agak berat, karena harus mendampingi “Bulonggo” dengan bekal kemampuan:

  • “Ni Pangala Basa” mempunyai kemampuan memberikan keteladanan dalam hal satu kata dengan perbuatan, satu mulut dengan tindakan, tidak berkhianat, kata-katanya berwibawa dan ditaati.
  • “Pomboli Ada” menjadi sarana dan prasarana Adat Budaya bersama para pembantunya saat mempersentasikan Budaya Adat dalam even daerah, regional, nasional, bahkan manca negara.
  • “Potavari Bisa” mampu melakukan terobosan penyelesaian permasalahan dalam kondisi terdesak.

Di seantero Nusantara (Sabang-Marauke)  memilih “TINA NGATA”  dengan ciri khas kearifan lokal sesuai Indonesia.

Tina Ngata seantero Nusantara ini patut berbangga, seorang Ntina-Bulongo-Tina Ngata pernah berada di puncak kekuasaan nasional 2002-2004, yaitu Megawati Soekarno Puteri.

Dalam rubrik yang terbatas ini penulis mohon maaf hanya mengemukakan beberapa “TINA NGATA”.

  • Intjeami alias Ite, adalah adik kandung H. Yoto Dg. Pawindu. TINA NGATA Hj. Ite adalah anak perempuan satu-satunya dari keluarga Dg. Sute. Semua saudara kandung TINA NGATA kita ini adalah aktifis pergerakan SI dan semuanya pedagang. Pengelolaan harta milik keluarga Dg. Sute di percayakan kepada Hj. Ite, ketika kegiatan belajar mengajar Alkhairaat berlangsung di rumah milik Dg. Maroca (berdekatan dengan rumah milik Hj. Ite) Kelurahan Kampung Baru. Hj. Ite bersama perempuan sekitar memberikan sumbangan cukup memadai memperlancar proses belajar mengajar SIS Aljufri yang kemudian dikenal dengan sebutan Guru Tua yang tertarik mempersunting Hj. Ite. Kakak kandung, H. Yoto Dg Pawindu mengawinkan adiknya dengan Guru Tua sekitar tahun 1950. Ketika makin banyak santri berdatangan, atas nama keluarga besar Dg. Sute, Hj. Intjeami alias Ite mewakafkan lokasi yang cukup luas untuk pembangunan prasarana pendidikan seperti yang dapat disaksikan di kompleks Pusat Perguruan Islam Alkhairaat Jl. SIS Al Jufri. Saat ini dua orang putri guru tua dengan Ite, yakni Syarifah Saidah dan Syarifah Saadiyah hingga saat ini mengambil alih tugas “TINA NGATA”. Keduanya dengan tulus ikhlas membina organisasi sayap Alkhairaat salah satu organisasi perempuan besar di nusantara ini, yaitu Wanita Islam Alkhairaat (WIA).
  • Hj Nurhayati Ponulele, “TINA NGATA” wanita ini adalah purna bhakti dari UNTAD. Namun tidak pernah menghentikan kegiatan dibidang sosial kemasyarakatan. Dengan dibantu “TINA NGATA” muda Hj. Norma Mardjanu, Hj. Nurhayati Ponulele masih aktif menjadi koordinator pengembangan budaya Adat Kaili di wilayah Kabupaten Parigi Moutong, Donggala, Sigi dan Kota Palu.
  • TINA NGATA Hj. Deri Djanggola; ketika menjabat sebagai Kepala Kantor Wilayah Kesejahteraan Sosial Provinsi Sulawesi Tengah pernah menyelenggarakan seminar disalah satu hotel di Palu. Tema seminar mengacu pada UU RI Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Usai pembukaan seminar “Tina Ngata” kita ini tidak lagi mengikuti pertemuan selanjutnya karena telah dialihkan kejabatan lain, hingga Purna Bhakti. Namun usaha yang di rintisnya berhasil menularkan gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan bidang  keteladanan kepada SIS Aljufri pada tahun 2010. Usaha yang dirintis oleh “Tina Ngata” ini sudah banyak diselenggarakan oleh para pemerhati sejarah di Sulawesi Tengah untuk melahirkan adanya Pahlawan Nasional dari Sulawesi Tengah. Di Kabupaten Sigi sendiri, hingga akhir tahun 2017 ini sudah diselenggarakan beberapa kali workshop/seminar dan telah mengerucutkan beberapa pejuang, antara lain: Karanjalemba, Daeng Pawindu, Datu Pamusu, Tovoa Langi, Ponulele dan beberapa lagi yang lain.
  • TINA NGATA ZALZULMIDA, lebih dikenal dengan predikat “BUNDA PAUD” walaupun masih ada beberapa jabatan lain yang dipercayakan kepadanya. Selama mendampingi NTINA-BULONGGO NU LUMBU Sulawesi Tengah, Longki Djanggola “Tina Ngata” kita ini telah berhasil memadukan dua budaya adat dari kearifan lokal (etnis) belainan. Ini terbukti dengan lahirnya Pergub Nomor: 42 tahun 2013 tentang Pedoman Peradilan Adat Sulawesi Tengah. Dalam suatu kesempatan pertemuan Forum Peradilan Adat Sulawesi Tengah, Zalzumida mengangkat slogan “Ada bersendi syarah, syarah bersendi Kitabullah”. Menurut “TINA NGATA” kita ini, slogan dimana bumi di injak, disitu langit dijunjung, tidak sepenuhnya dapat diterapkan dalam keberagaman berbagai kearifan lokal yang harus dijadikan pedoman adalah :  Inkulturasi : penguatan budaya (kearifan lokal) tanpa mempertentangkan terjadinya perbedaan. Assimilasi : penyesuaian diri diri dengan kearifan masyarakat setempat dengan sikap sukarela dan ketulusan. Akulturasi  : proses penyatuan dan penyadaran bahwa konflik bersumber pada faktor budaya yang selalu dipertentangkan.
  • Norma Mardjanu, “TINA NGATA” wanita yang energik ini, ketika menjabat sebagai Kepala Dinas Parawisata dan Ekonomi Kreatif Sulawesi Tengah, telah banyak melahirkan terobosan dan menginginkan Sulawesi Tengah menjadi destinasi wisata lokal, regional bahkan manca negara. Dalam jabatan barunya saat ini sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, “TINA NGATA” ini berkoordinasi dengan OPD terkait lainnya, tengah berupaya mendorong percepatan lahirnya Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah tentang Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat Adat. Hal ini dimaksudkan:
  • Untuk lebih meningkatkan proses Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
  • Lahirnya Perda Adat di 13 Kabupaten Kota diSulawesi Tengah.
  • Terbentuknya Lambaga Adat diseluruh desa/kelurahan Sulawesi Tengah.

Dari Aspek Pendidikan :

  • Penguatan kurikulum pendidikan etika dan moral Pancasila
  • Penguatan kurikulum muatan lokal berbasis Budaya.

Hal-hal lain yang juga diharapkan :

  • Kebijakan penguatan peran dan fungsi tokoh-tokoh informal
  • Kebijakan penguatan lemabaga kearifan lokal
  • Kemandirian lembaga kearifan lokal dari intervensi politik dan ekonomi
  • Pengakuan terhadap lembaga kearifan lokal yang beragam dimasing-masing daerah.

Semoga keinginan leluhur para “ TINA NGATA “ kita ini bisa teraplikasikan. Amien.

Dengan terkuaknya tirai tentang peran- peran perempuan dalam perjuangan mendirikan Republik ini,Maka perlu di pertanyakan :

Masih tepatkah istilah’’ Founding Father’’ dipertahankan ? ……..

*Penulis adalah peminat sejarah perjuangan bangsa, Anggota Bidang Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Adat Pedoman Peradilan Adat Sulawesi Tengah” (Pergub No: 42/2013)Tinggal di Desa Tulo Kec. Dolo Kab. Sigi, Hp. 0813 8225 6943