Kala Dana Bencana Dikorup

oleh -
Ilustrasi

OLEH: NURDIANSYAH LAKAWA*

Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Resmin Laze dan rekanannya CS resmi dijeruji. Keduanya ditahan setelah menjadi tersangka dalam Kasus Dana Tanggap Darurat sebesar 900 juta, dari Pagu Anggaran 1,2 Miliar.

 

Bila benar mereka korupsi, luar biasa korupsi model ini. Kita tidak habis pikir. Bukan karena faktor korupsinya saja, tapi apa yang mereka korupsi yaitu dana tanggap bencana. Uang yang semestinya digunakan sebagai “pertolongan”, malah dicolong.

 

Bagi pejabat, takada salahnya memperkaya diri. Namun perilaku memperkaya atau membuat menjadi kaya harus ditempuh sesuai dengan pedoman moral yang berlaku atau hidup dalam masyarakat. Apalagi, dalam mengemban amanat pengelolaan bantuan bencana. Jangan dikesampingkan demi terpenuhinya keinginan ego terhadap kecukupan materi.

 

Sigi yang sejatinya wilayah yang memiliki frekwensi bencana cukup tinggi seharusnya dijaga. Berapapun potensi dana untuk menjaganya, jangan ditilap. Orang mengkorupsi dana bencana adalah drakula bagi masyarakat. Sungguh tidak patut bantuan bencana menjadi ‘darah’ untuk menopang kelangsungan hidupnya.

 

Modus korupsi yang rentan dilakukan adalah menyalahgunakan jabatan atau kekuasaan publik. Ini disebabkan tidak berjalannya secara wajar tiga fungsi manajemen yaitu perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan.

 

Mungkin karena dana tanggap bencana adalah “roti” yang menggiurkan. Peng-APBD-an Bantuan Bencana, bisa berpotensi pada korupsi. Tingginya potensi bencana, membuat pemerintah terjebak dalam program belasungkawa sebagai bentuk hadirnya pemerintah di masyarakat. Dengan begitu pemerintah dianggap peduli pada penanganan bencana. Sementara fungsi manajemen dikebelakangkan, dengan alibi “darurat”.

 

Padahal bila memang bencana itu sering terjadi, maka sebaiknya, pos belanja itu diberikan kepada SKPD sebagai upaya pencegahan—SKPD yang dianggap berwenang. Contoh Bila Bencana itu disebabkan Erosi, maka serahkan dana itu ke Dinas Kehutanan. Pemahaman terhadap pencairan pos belanja tidak terduga perlu diwaspadai, karena jangan sampai ada toleransi terhadap kelalaian pengelolaan pemerintahan yang ditopang oleh belanja tidak terduga.

 

Tanpa mengurangi rasa empati dan berbagi korban penderitaan, tidak seharusnya korban yang berasal dari daerah disantuni, dengan biaya dari belanja tidak terduga. Apa salahnya dana patungan dari Pejabat sebagai bentuk kepedulian para pamong praja terhadap rakyatnya. Di situ kemurahan hati pemerintah dilihat, jauh lebih berarti daripada memanfaatkan ABPD untuk menunjukkan rasa berbela sungkawa.***

*Penulis adalah Pimpinan Redaksi MALOnline