Etika Penyelenggara Pemilu

oleh -
ilustrasi

OLEH: RIFAY*

Penyelenggaraan Pemilu tahun 2019 tak lama lagi. Undang-Undang sebagai rujukan utama pelaksanaan pesta demokrasi tersebut juga baru saja diperbaharui dan sudah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR. Kini, rujukan utama penyelenggaraan Pemilu sudah berganti nomor, yakni UU Nomor 7 tahun 2017.

Sejumlah elemen dan lembaga yang memiliki kaitan erat dengan perhelatan tersebut, juga langsung menyahuti terbitnya UU itu dengan aturan turunan sesuai porsi dan kewenangan institusinya masing-masing. Disana ada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Badan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Namun terkhusus untuk KPU, meskipun tidak dituangkan dalam aturan, namun semua komisioner yang ada di semua tingkatan, diminta agar lebih “menjaga jarak” lagi dengan peserta Pemilu, partai politik maupun politisinya. Pertemuan antar individu perlu diperketat pula.

Selain untuk memperkuat independensi, larangan ini juga berkaitan dengan etika penyelenggara dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai “dapur” pesta demokrasi.

KPU memiliki tugas penting dalam menjaga jalannya demokrasi di Indonesia. Setiap langkah dan tindakan harus senantiasa berpedoman pada aturan dan kode etik yang berlaku. Hal ini diperlukan agar langkah dan tindakan Penyelenggara dapat dipertanggungjawabkan. Netralitas Penyelenggara perlu ditegaskan, mengingat masyarakat sangat mengharapkan terselenggaranya Pemilu yang aman, nyaman, damai tanpa ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

Untuk mendukung hal tersebut diperlukan pemahaman filosofis mengenai konsep Etika bagi Penyelenggara Pemilu. Pemahaman ini sangat penting menuju Pemilu yang berintegritas. Etika merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang beradab, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berbeda dengan aturan hukum positif yang menjadikan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebagai pedoman berperilaku, etika merujuk pada nilai-nilai moral sebagai acuan utama. Meskipun berbeda, tujuan keduanya tetap sama, yaitu adanya perilaku yang baik di di kalangan anggota masyarakat, termasuk di kalangan penyelenggara negara.

Pelaksanaan Pemilu di Indonesia beberapa tahun belakangan ini diwarnai oleh etika sebagai pedoman perilaku (code of conduct) para penyelenggaranya. Yang dimaksud disini tentu saja etika sebagai pedoman praktis. Ketua DKPP, Jimly Asshiddiqie memperkenalkan istilah “rule of ethics” untuk mengungkapkan peranan etika ini di samping aturan hukum positif (rule of law) yang ada.

Dalam suatu proses Pemilu, mekanisme demokrasi bisa sangat mengecewakan hasilnya mengingat tidak meratanya tingkat pendidikan masyarakat, ditambah dengan elite politik yang hanya memikirkan diri sendiri atau kelompoknya hingga dikhawatirkan terjadinya suatu manipulasi. Untuk mengantisipasinya, setiap Penyelenggara Pemilu dituntut untuk memiliki kredibilitas yang terpercaya di hadapan rakyat. Penyelenggara Pemilu juga harus menghindari pelanggaran dalam suatu pemilihan seperti vote trading, vote buying atau bribery, electoral fraud, electoral corruption, kelalaian, ceroboh, kekurangan sumber daya, kelelahan, atau ketidakmampuan. Namun, pada titik ini, akan muncul apa yang disebut dengan dilema etik di mana Penyelenggara tidak hanya wajib taat asas atau berperilaku “hitam-putih” namun juga mengalami pilihan-pilihan dilematis untuk menentukan mana yang harus dipilih dan tidak dipilih.

Bagaimana pun dilematisnya pilihan yang dihadapi oleh Penyelenggara, mereka wajib dan harus menegakkan aturan dengan tegas tanpa kompromi. Ajaran etika dan moral tidak boleh lentur, wajib dan harus ditegakkan dengan kaku. ***

*Penulis adalah Wakil Pimpinan Redaksi Harian Media Alkhairaat