Cerita Mualaf di Pegunungan Sigi

oleh -
Larima di depan masjid yang sedang mereka bangun. (FOTO: MAL/NANANG IP)

MEMILIH menetap di wilayah pengunungan tidak mudah. Namun, itu tidak bagi mereka yang telah terbiasa, mereka tetap nyaman dan betah berlama-lama hingga beranak cucu. Apalagi, mereka adalah orang-orang mualaf yang sudah ditempa iman dan kesabaran menjalani hidup. Bagaimanapun kondisinya, asalkan syiar dan tali temali persaudaraan tetap terjaga.

Satu hal yang sampai kini masing menjadi tantangan berat. Sulitnya akses menuju tempat tinggal adalah momok lama yang selalu mengiringi perjalanan hidup para pemukimnya.

Satu sosok yang layak diteladani keseriusannya membesarkan agama Allah di bumi Sigi, khususnya di wilayah yang sangat sukar tersentuh dakwah.

Adalah Larima, seorang warga di Dusun Tompu, Desa Ngata Baru, Kecamatan Sigi Biromaru. Larima baru satu tahun lebih memeluk Islam.

Ia bersama sejumlah warga di dusun itu mengambil inisiatif sendiri begitu bersemangat dalam merenovasi sebuah masjid. Masjid yang berukuran sekira lima kali lima persegi. Masjid, tersebut berdiri berdampingan dengan sebuah Sekolah Satu Atap (Satap) Sigi Biromaru.

Menurut Larima, masjid berdinding papan itu, tak mampu lagi menampung para jemaah ketika hari raya besar Islam.

Kesulitan utama menurut dia, sulitnya mendapatkan material pasir dan semen. Sedianya, kedua material utama itu, harus diperoleh dari bawah gunung.  Ia menuturkan, proses renovasi masjid kecil itu sedang mengalami sejumlah kendala. Meskipun pihaknya telah menerima sejumlah bantuan dana dari dermawan.

Proses pengirimannya lanjut dia, harus bersusah payah. Karena akses jalan menuju masjid terbilang cukup sulit. Apalagi ketika hujan turun. Jalan setapak, akan berubah menjadi kubangan lumpur, yang siap mengancam keselamatan. Karena, jalan tersebut terdapat sejumlah jurang.

bone ante vatu hi nadasa, ane vatu naleva ane Masintuvu, apa namala ngena nisimbuaka. Ane bone hi santaga mate (kalau batu itu, tidak terlalu susah jika saling bergotong royong. Hanya mengambil pasir itu saja yang setengah mati),” ujar Larima belum lama ini.

Larima menambahkan, masjid tersebut ukurannya akan bertambah menjadi 9 x 9 meter persegi. Rencananya masjid itu juga akan dirancang berdinding beton guna menampung membludaknya jemaah.

Menurut ayah dua anak ini, kendala lain yang juga mereka temui adalah sulitnya mendapatkan khatib dan imam masjid.

“Saat akan menunaikan shalat Jumat misalnya. Seorang imam harus bermalam di rumah kami. Belum lagi, guru mengaji pun sulit, hanya beberapa relawan saja yang biasa datang berkunjung lalu mengajarkan anak-anak kami membaca Al-Qur’an,” katanya. (NANANG IP)